Kamis, 05 Mei 2011

Arsitektur Kolonial Warnai Budaya Masyarakat Raja Ampat

Jayapura (ANTARA Sulsel) - Arsitektur bergaya kolonial mewarnai sebagian budaya masyarakat Raja Ampat, berupa peninggalan arkeologi seperti bangunan Gereja Eben-Haezer yang terletak di Kampung Arefi, Distrik Selat Sagawin, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua.

Peneliti Balai Arkeologi Jayapura, Hari Suroto, di Jayapura, Jumat, mengatakan, gereja yang didirikan pada 1952 itu memperlihatkan suasana khas gereja Eropa.

"Halamannya luas, ada menara dengan jendela yang tinggi dan berkisi-kisi, langit-langit, dan pintunya juga tinggi. Ini khas arsitektur kolonial," jelasnya.

Selain itu, bahan-bahan bangunan yang digunakan, struktur bangunan dan bentuk bangunan gereja ini berbeda dengan rumah asli penduduk Kampung Arefi yang berbentuk panggung berbahan lokal dengan teknik konstruksi ikat menggunakan tali rotan.

Menurut Hari, karya arsitektur Gereja Eben-Haezer dapat menjadi media untuk membaca kondisi pengalaman dan sistem nilai kebudayaan dalam masyarakat yang dialami arsitek pembangun gereja itu.

"Arsitek gereja ini Pieter Kabes dan Yeremias Soor yang adalah polisi kolonial dan berpengalaman dalam penugasan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda," katanya.

Oleh sebab itu, lanjutnya, mereka telah membawa ide-ide kolonial dalam pembangunan gereja dengan penambahan budaya dari etnis Biak yang merupakan asal daerah dari kedua arsitek gereja tersebut.

Aplikasi budaya etnis Biak pada gereja bergaya kolonial ini terlihat dari motif Teluk Gelvink atau Teluk Cenderawasih (Kabupaten Biak, Waropen dan Supiori), sebagai penghias di bagian atas pintu utama berupa bentuk sulur-suluran.

Hingga sekarang, bangunan gereja itu masih memperlihatkan bentuk aslinya, walaupun telah dilakukan renovasi pada tiang kayu bagian bawah setinggi sepuluh sentimeter karena sudah lapuk.

Pada saat ini, bangunan gereja tersebut difungsikan sebagai aula atau sebagai tempat pertemuan masyarakat setempat.

(Sumber : http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/6770/arsitektur-kolonial-warnai-budaya-masyarakat-raja-ampat)

Arsitektur Tradisional, Warisan Budaya Lokal Sulsel

Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.
MASYARAKAT tradisional Indonesia pada umumnya percaya akan adanya suatu tatanan, aturan tetap, yang mengatur segala apa yang terjadi di alam dunia yang dilakukan oleh manusia. Tatanan atau aturan itu bersifat stabil, selaras, dan keka. Aturan itu merupakan tatanan budaya sebagai sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Apapun yang dilakukan manusia harus sesuai atau selaras dalam tatanan kehidupan alam sekitarnya. Apabila tidak bertentangan dengan alam, niscaya hidupnya akan tenang dan damai. Yang menyimpang dari tatanan dan aturan merupakan "dosa" yang patut menerima sanksi atau hukuman.
Masa itu perbuatan manusia selalu berdimensi dua, dwimatra; yaitu mistik dan simbolik. Untuk megungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai tanda-tanda atau simbolik, dua macam tanda penting, pertama: Mitos asal, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua: Ritual upacara berupa perlakuan simbolis yang berfungsi untuk memulihkan harmoni tatanan alam dengan manusia, agar manusia terhindar dari malapetaka dan memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Inilah dasar-dasar filosofi yang mengatur budaya masyarakat tradisional.
Pola pemikiran masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam budaya kosmologi. Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas pada kehidupan dirinya sendiri, egocentrum. Kemudian manusia mengembangkan dorongan naluri dan nalarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kehidupan egocentrum akan menjadi bagian integral dari kehidupan habitat sekitarnya, yang diatur dalam sebuah tatanan budaya atau kebudayaan.
Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan leluhur yang di pengaruhi oleh ethos budaya dan mempunyai sifat-sifat khusus, antara lain kekhususan itu ditandai dengan cara mempertahankan suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan habitat sekitarnya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, pola hubungan antar manusia. Hubungan manusia dengan habitat sekitarnya didasarkan pada anggapan bahwa eksistensinya hidup dalam kosmos alam raya dipandang sebagai suatu tatanan yang teratur dan tersusun secara hirarkis dalam sebuah tatanan budaya yang terjaga.
Ketika kita bicara tentang kebudayaan, maka arsitektur adalah salah satu hasil karya seni budaya bangsa. Keterkaitan hubungan antara kebudayaan dan arsitektur tergambar pada telahan masing -masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya berpijak pada unsur-unsur konsep, cara membangun dan wujud nyata dari bangunan sebagai lingkungan buatan dalam lingkungan sekitarnya. Telaahan kebudayaan selalu berpijak pada unsur-unsur buah pikiran ide, perbuatan, sikap dan prilaku behavior serta hasil karya seni artefak. Arsitektur sebagai hasil karya seni budaya diakui sebagai salah satu wujud kebudayaan yang menjadi bayangan cerminan dari kehidupan manusianya, dari masa ke masa.
Arsitektur sebagai unsur kebudayaan merupakan salah satu bentuk bahasa nonverbal manusia, alat komunikasi manusia nonverbal ini mempunyai nuansa sastrawi dan tidak jauh berbeda dengan sastra verbal. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana keindahan, sebab dari sanalah akan muncul karakteristiknya. Dalam naskah kuno sastra jawa dan kitab lontara Bugis Makassar dapat ditemukan hubungan relevansi antara lingkungan kehidupan budaya manusia dengan rumah adat yang diciptakannya.
Dalam masyarakat tradisional Sulawesi Selatan, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat dilakukan menurut adat istiadat, dengan demikian adat menjadi semacam pedoman dalam bertindak yang menguasai pola kehidupan masyarakat, baik dalam tingkah laku, maupun dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya.
Tata cara pembuatan rumah dalam konsep arsitektur tradisional biasanya merujuk pesan, wasiat yang bersumber dari kepercayaan yang dianut, mulai dari pemilihan tempat, bentuk arsitekturnya, upacara ritual ketika membangun, sampai pada penentuan arah perletakan rumah.
Secara konsepsual arsitektur, masyarakat tradisional Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar) berangkat dari suatu pandangan hidup ontologis, memahami alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut sulapa appa, menunjukkan upaya untuk menyempurnakan diri, filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk segi empat, yang merupakan mitos asal kejadian manusia yang terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air, api, dan angin.
Bagi masyarakat tradisional Bugis Makassar yang berpikir secara fotolitas, rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh: Struktur kosmos, di mana alam terbagi atas tiga bagian yaitu alam atas sebagai tempat suci, alam tengah, sebagai tempat berlangsungnya kehidupan manusia, dan alam bawah, tempat terjadinya interaksi dengan lingkungan sekitar dan makhluk hidup lainnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam prosesi mendirikan rumah antara lain: meminta pertimbangan dari panrita bola untuk mencari tempat dan arah yang dianggap baik. Beberapa wasiat dalam hal menentukan arah rumah yaitu: sebaiknya menghadap kearah terbitnya matahari, menghadap kedataran tinggi, dan menghadap ke salah satu arah mata angin.
Selain itu salah satu faktor pertimbangan lain yang perlu diperhitungkan adalah pemilihan waktu untuk mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang baik biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu.
Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh upacara ritual, yang pada tahap selanjutnya secara berurutan mulai mendirikan rumah dengan mengerjakan tiang pusat rumah (posi'bola) terlebih dahulu, menyusul tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan secara keseluruhan selesai dikerjakan.
Seperti kebanyakan rumah tradisional di Indonesia, rumah Bugis Makassar juga dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya. Rumah tradisional Bugis Makassar pada dasarnya terdiri dari beberapa macam yaitu:
1. Rumah Kaum Bangsawan Arung atau Karaeng. Untuk rumah bangsawan yang memegang jabatan, pada puncak rumah induk terdiri dari tiga atau lebih sambulayang /timpalaja. Jumlah tiang ke samping dan ke belakang 5 - 6 buah, sedang untuk bangsawan biasa jumlah tiang ke samping dan ke belakang 4 -5 tiang. 2. Rumah Orang Kebanyakan Tosama, terdiri dari 4 buah tiang kesamping dan kebelakang, puncak sambulayang/timpalaja hanya dua susun. 3. Rumah Hamba Sahaja Ata atau Suro, bentuk dengan ukuran yang lebih kecil, biasanya hanya tiga petak, dengan sambulayang/timpalaja yang polos. Pada umumnya rumah tradisional Bugis Makassar berbentuk panggung dengan penyangga dari tiang yang secara vertikal terdiri atas tiga bagian yaitu: Rakkeang/Pammakkang, terletak pada bagian atas, di sini melekat plafond tempat atap menaungi, penyimpanan padi sebagai lambang kehidupan dan tempat atribut adat disimpan.
Ale bola/kale balla, terletak pada bagian tengah, di mana sebuah tiang ditonjolkan di antara tiang tiang lainnya, yang terbagi atas beberapa petak dengan fungsinya masing-masing. Awaso/siring, terletak pada bagian bawah, sebagai tempat penyimpanan alat cocok tanam, ternak, alat bertukang dan lain lain. Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga bagian yaitu: Lontang ri saliweng/padaserang dallekang, letaknya di ruang bahagian depan. Lontang ri tengnga/padaserang tangnga, terletak di ruang bahagian tengah. Lontang ri laleng /padaserang riboko, terletak di ruang bahagian belakang.
Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan di bagian belakang annasuang atau appalluang, dan ruang samping yang memanjang pada bagian samping yang disebut tamping, serta ruang kecil di depan rumah yang disebut lego-lego atau paladang.
Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.
Ornamen corak tumbuhan, umumnya bermotifkan bunga/kembang, daun yang memiliki arti rejeki yang tidak putus putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, di samping motif yang lainnya. Ornamen corak binatang, umumnya bentuk yang sering ditemukan adalah: kepala kerbau yang disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial. Bentuk naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah lembut, kekuatan yang dahsyat. Bentuk ayam jantan yang diartikan sebagai keuletan dan keberanian, agar kehidupan dalam rumah senantiasa dalam keadaan baik dan membawa keberuntungan.
Ornamen corak alam, umumnya bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan Islam. Penempatan ragam hias ornamen tersebut pada sambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan lain-lain. Penggunaan ragam hias ornamen tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya tinggi.
Masyarakat tradisional Tana Toraja di dalam membangun rumah tradisionalnya mengacu pada kearifan budaya lokal (kosmologi) yaitu: Konsep pusar atau pusat rumah sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme. Dalam perspektif kosmologi, rumah merupakan mikrokosmos, bagian dari lingkungan makrokosmos. Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi ruang tengah rumah dan atap menyatu dengan father sky. Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a'riri possi di Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar dan tiang menyatu dengan mother earth.
Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal filosofi Aluk A'pa Oto'na yaitu empat dasar pandangan hidup: Kehidupan manusia, kehidupan alam leluhur Todolo, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang melambangkan badan atau kekuasaan. Dalam kehidupan masyarakat toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri, egocentrum. Hal ini yang tercermin pada konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan bukaan yang sempit.
Selain itu konsep arsitektur tradisional Toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya simuane tallang atau filosofi harmonisasi dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur tongkonan yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen tongkonan seperti: rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, di dalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang Toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional Toraja, dimana rumah dianggap sebagai mikro kosmos.
Tata letak rumah tongkonan berorientasi utara-selatan, bagian depan rumah harus berorientasi utara atau arah Puang Matua Ulunna langi dan bagian belakang rumah ke selatan atau arah tempat roh-roh Pollo'na Langi. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti kehidupan dan pemeliharaan, pada arah timur di mana para dea "dewata" memelihara dunia beserta isinya ciptaan Puang Mutua untuk memberi kehidupan bagi manusia, dan arah barat adalah tempat bersemayam To Membali Puang atau tempat para leluhur todolo. Atau selalu ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kesemuanya ini diterjemahkan menjadi satu kata sederhana yaitu keseimbangan dan secara arsitektural keseimbangan selalu diaplikasikan ke dalam bentuk simetris pada bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa prinsip dasar arsitektur tradisional Toraja adalah simetris, keterikatan, dan berorientasi.
Tongkonan.
Tongkonan, rumah adat Toraja adalah bangunan yang sangat besar artinya, karena peranannya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan dalam fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu: Tongkonan layuk, kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat. Tongkonan pokamberan/pokaindoran, yaitu rumah adat yang merupakan tempat melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah. Tongkonan batu a'riri, yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi sebagai tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu, serta tempat pembinaan warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga.
Tongkonan Pa'rapuan, fungsinya sama dengan tongkonan batu a'riri tetapi semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi tertentu, fungsi fungsi tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari bangunan itu tidak berubah yaitu atap menghadap keutara sebagai orientasi bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi dan arsitektur bangunan tetap sebagai dasar perancangan tongkonan, karena adanya hubungan pandangan keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan.
Bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan struktur arsitekturnya antara lain, rumah adat Toraja dibagi atas dua bagian besar yaitu dengan menarik garis besar dari utara ke selatan yang dibedakan dengan nama Kale banua matallo dan Kale banua matumpu' yaitu bagian rumah sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat. Perkembangan arsitektur tradisional dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: waktu, pengaruh budaya luar, pola hidup, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dari masa lampau hingga masa kini ada empat masa perkembangannya yang dapat ditelusuri yaitu: Masa arsitektur tradisional, masa arsitektur klassik, masa arsitektur modern, serta masa arsitektur post modern. Masa arsitektur tradisional: pada masa ini budaya asli dan pola hidup masyarakat tradisional berkembang didalam masyarakat tanpa ada pengaruh luar, Arsitektur Tradisional merupakan pilihan satu satunya. Secara tradisi, bangunan hanya berfungsi sebagai rumah tinggal ataupun sebagai tempat bermukim keluarga.
Arsitektur tradisional sangat dipengaruhi oleh keadaan dan potensi alam sekitarnya yang menjadi motif utama pemberi corak arsitektur tradisional. Terutama pengaruh iklim, curah hujan, tumbuh-tumbuhan yang dipakai sebagai bahan bangunan dan batu batuan. Arsitektur tradisional Toraja misalnya, mempunyai sudut kemiringan atap yang tajam karena curah hujan besar. Bambu dipakai sebagai atap dan plafound karena hutan bambu banyak di Tana Toraja, begitupun halnya bahan kayu yang dipakai sebagai tiang dan dinding. Perihal ragam hias ornamen yang didapati banyak memberi warna arsitektur tradisional Sulawesi Selatan, dipakai menghiasi dinding dan tiang sesuai tradisi masing masing etnis. Ornamen dipakai sebagai ungkapan arti simbol simbol suatu benda yang dianggap mempunyai arti dalam penghidupan dan kehidupan masyarakat tradisional etnis bersangkutan.
Gaya arsitektur tradisional yang beranekaragam di Indonesia diperkirakan akan menjadi sumber inspirasi utama dalam gaya post-modern ini. Beberapa arsitektur modern masa kini dirancang dan dibangun dengan mengawinkannya dengan unsur-unsur arsitektur tradisional, tetapi terkadang unsur tradisional itu sendiri, manjadi rancu akibat dari perbedaan prinsip dasar, filosofi, konsep, aktifitas, bentuk, dan bahan bangunan. Masalah lain akan timbul bila dua macam atau lebih arsitektur tradisional yang berbeda disatukan di dalam satu gubahan arsitektur, seperti Toraja dengan Bugis, Toraja dengan Bali, Toraja dengan Jawa, dan kombinasi lainnya. Meskipun demikian arsitektur tradisional masih memiliki dan menampilkan persamaan yaitu: unsur vertikal dan horisontal. Bahkan kedua unsur ini dpat ditemukan pada seluruh arsitektur tradisional di Indonesia.

(Sumber : http://dualembang.multiply.com/journal/item/28)

Arsitektur Rumah Melayu Kayong

I. Pendahuluan
Rumah-rumah suku Melayu yang ada di sepanjang sungai Pawan menunjukan ciri khas keIslaman yang sangat kuat tradisi arsitektur bergaya tradisional Melayu mewarnai aksesoris yang melekat di dalamnya seperti Rumah tradisional Melayu Kayong. Sebuah bangunan yang mencirikan reprentasi dari gaya , berkolaborasi ciri Melayu mengambarkan multicultural masyarakat sebagai sebuah simbol peradaban suatu bangsa yang memiliki identitas.
Tradisi arsitektur Melayu yang masih tertinggal kini sudah banyak yang tergerusi oleh perubahan jaman dan sebagian ada yang sudah dirubah bentuk dari aslinya, sehingga eksestensi nilai yang melekat otomatis berubah, simbol yang melekat tidak lagi mengambarkan keunikan yang dipesankan oleh leluhur terdahulu, bahwa walaupun berbeda akan tetapi tetap bersatu saling menghargai satu sama lainnya, membentuk kompigurasi aneka warna yang penuh keindahan. Keseimbangan diantara satu sama lainnya yang akan melahirkan kebersamaan dalam menata kehidupan menjadi pesanan yang tidak boleh dilupakan oleh kita pada jaman modern ini.
Rumah mengambarkan sebuah simbol keberadaban dan menjadi kebanggaan bagi pemiliknya, prestise yang melekat menentukan stratifikasi kedudukan penghuninya, kepercayaan diri semakin tinggi manakalah rumah tersebut dibuat dari hasil proses yang benar, seperti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dengan ritual rumah baru dengan jiwa baru dan semangat baru untuk membangun jati diri identitas suatu suku yang diwakilinya. Rumah yang bergaya tradisional pada umumnya merupakan warisan budaya dan sejarah masa lalu yang di miliki oleh sebagian orang Melayu di sepanjang sungai Pawan dan pemilik umumnya mempunyai kedudukan dan pengaruh yang kuat ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang ada, sehingga ia menjadi masyarakat yang dibanggakan oleh warganya dan juga bisa menjadi tempat musyawarah menyelesaikan pelbagai permasalah atau problem masyarakat pada umumnya.
Arus globalisasi yang masuk di dalam setiap sendi kehidupan masyarakat, secara tidak sadar melahirkan pemikiran modern terpengaruh oleh perubahan jaman, secara prontal merombak tatanan, tata ruang di dalam arsitektur itu sendiri dan terkesan tanpa meninggalkan pesan moral di dalamnya, jika tidak secepatnya diantisipasi maka secara perlahan-lahan ia akan terkikis oleh perubahan waktu, tanpa meningalkan pesan bagi generasi yang akan datang. Arsitektur Melayu yang masih ada jika di renovasi akan menjadi nilai jual yang bernilai tinggi karena ia tidak jauh dari tempat-tempat yang bersejarah dan bisa menjadi sebuah perkampungan budaya yang membangun kehidupan ekonomi kreatif masyarakat di sekitarnya, sehingga dengan budaya mereka bisa merubah kehidupan yang lebih baik lagi.
Upaya yang harus di lakukan adalah dengan merevitalisasi yang masih ada, hal ini sangat perlu untuk tetap dilestarikan mengingat peninggalan ini adalah bagian warisan budaya yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Perlunya diadakan penelitian mengingat hanya tinggal beberapa buah yang bisa ditempati oleh pemiliknya hal ini dapat dijumpai di daerah kampung Kauman Kecamatan Benua Kayong Kabupaten Ketapang dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Tujuan dari inventarisasi aspek tradisi pada arsitektur tradisional rumah Melayu adalah untuk penyediaan data tentang arsitektur tradisional dan meningkatkan pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan tradisi arsitektur rumah Melayu yang masih ada. Ruang lingkung materi yang akan dibahas meliputi jenis bangunan rumah tinggal, dan karakteristik rumah Melayu
Penelitian ini mengambil tempat di Kecamatan Benua Kayong Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Lokasi yang dipilih karena rumah yang berbentuk tradisional Melayu masih dapat dijumpai dan ditempati oleh masyarakat Melayu di daerah tersebut dan sebahagian lagi sudah rusak tidak bisa ditempati. Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai metode, seperti:pengamatan, wawancara terhadap informan dan studi kepustakaan.


II. Gambaran Daerah Pengumpulan Data
Kabupaten Ketapang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat yang terletak di sebelah selatan. Secara geografis Kabupaten Ketapang terletak di 0o19'00 - 3o05' Lintang Selatan dan 108o42'00 Bujur Timur sampai. 111o16'00 Bujur Timur.Secara administratif, batas-batas wilayah Kabupaten Ketapang adalah sebagai berikut:
• Sebelah Utara : Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sanggau
• Sebelah Selatan: Laut Jawa
• Sebelah Barat : Selat Karimata
• Sebelah Timur : Kalimantan Tengah dan Kabupaten Sintang
Sebagian besar wilayah Kabupaten Ketapang adalah daratan berdaratan rendah dengan luas sekitar 35.809 km² (± 3.580.900 Ha) yang terdiri dari 33.209 Km². Dari total luas wilayah Kabupaten Ketapang tersebut 33.209 km² (92,74 persen) terdiri dari wilayah daratan dan 2.600 km² (7,26 persen) berupa perairan.
Secara geografis Benua Kayong terletak di dalam wilayah ibukota Kabupaten Ketapang. Berbatasan sebelah Utara Kecamatan Delta Pawan, sebelah Selatan Kecamatan Matan Hilir Selatan, sebelah Timur Kecamatan Sungai Melayu Rayak, dan sebelah Barat Kecamatan Selat Karimata dengan luas wilayah 349.00 km dan jumlah penduduk 30,963 jiwa yang mendiami 9 kelurahan yang ada.
Sebagian besar dari Pertokohan di wilayah itu adalah berbentuk ruko yang dibangun secara kokoh dari jenis-jenis kayu setempat yang keras dan bercor semen padat, model bangunan tersebut tidak jauh berbeda dengan model di daerah lainnya di wilayah Kalimantan Barat, sedangkan rumah- rumah berbentuk model rumah Melayu tradisional berbentuk limas.

III. Jenis Bangunan
Jenis bangunan tradisional yang masih dapat dijumpai di Kecamatan Benua Kayong, adalah tempat tinggal, dan dengan type rumah yang tradisional berbentuk limas, model gudang dan model rumah panggung. Rumah tradisional Melayu pada umumnya terdiri atas tiga jenis yaitu Rumah Tiang Enam, Rumah tiang Enam Berserambi dan Rumah Tiang Dua Belas atau Rumah Serambi. Rumah Tiang Dua Belas atau Rumah Serambi merupakan rumah besar dengan tiang induk sebanyak dua belas buah (Mahyudin,2003). Tipologi rumah tradisional Melayu adalah rumah panggung atau berkolong dan memiliki tiang-tiang tinggi. Hal ini disesuaikan dengan keadaan iklim dengan kebiasaan turun menurun. Tinggi tiang penyangga rumah setinggi kl 70 cm dari permukan tanah. Ruangan yang terbuka membuat sirkulasi udara cepat berganti dan angin dengan mudah masuk melalui ventilasi yang cukup banyak.
Adapun fungsi pada setisap ruangan di rumah Melayu memiliki nama dan fungsinya masing-masing, yaitu:

1. Selang Depan
Ruang ini merupakan tempat untuk meletakan barang yang tidak perlu dibawa kedalam ruang rumah dan merupakan bagian depan yang terendah. Di samping anak tangga yang berjumlah tiga buah untuk naik ke selang depan biasanya ditempatkan sebuah tempayan kecil berisi air untuk mencuci kaki.

2. Serambi Depan
Letaknya lebih tinggi satu kaki dari selang depan. Untuk sampai ke ruang ini, orang harus menaiki bebrapa anak tangga yang berjumlah ganjil. Pada serambi depan biasanya tidak dijumpai kursi ataupun meja, hanya tikar atau permadani yang terbentang. Ruang ini memiliki banyak jendela setinggi bahu orang duduk dan dari jendela ini orang yang sedang duduk di lantai ruangan dapat melihat ke halaman.

3. Ruang Induk
Merupakan ruang di belakang serambi depan dengan tinggi lantainya 30 cm lebih tinggi dari srambi depan. Pada zaman dahulu antara serambi depan dengan rumah induk tidak dibatasi dinding pemisah antara serambi depan dengan ruang induk. Pada ruang induk ini terdapat tangga yang menuju ke loteng atau tempat tidur anak gadis. Jendela-jendela diruang ini serupa dengan serambi depan dan letak daunnya setinggi bahu orang yang duduk di lantai dengan hiasan terawang ukiran Melayu.


4. Serambi Belakang
Pada sisi kanan rumah terdapat selang samping yang mirip bentuknya dengan selang depan, juga terdapat guci yang berisi air berfungsi sebagai pencuci kaki terletak dekan tangga naik. Tangga ini berjumlah ganjil. Dari selang samping ini dengan melalui beberapa anak tangga yang berjumlah ganjil orang akan sampai ke serambi belakang. Letaknya dibekang rumah induk dengan tinggi hampir sama dengan serambi depan. Ruangan ini sama dengan serambi depan.




Gambar 1 Gambar 2


IV. Karakteristik
Ditinjau dari tipologi dan fungsi ruang, rumah tradisional Melayu pada umumnya terdiri atas tiga jenis, yaitu Rumah Tiang Enam, Rumah Tiang Enam Berserambi, dan Rumah Tiang Dua Belas, atau Rumah Serambi. Rumah Tiang Dua Belas atau Rumah Serambi merupakan rumah besar dengan tiang induk sebanyak dua belas buah.
Tipologi rumah tradisional Melayu adalah rumah panggung atau berkolong, dan memiliki tiang-tiangtinggi.
Setiap ruangan pada rumah Melayu memiliki nama dan fungsi tertentu. Selang depan berfungsi sebagai tempat meletakkan barang-barang tamu, yang tidak dibawa ke dalam ruangan. Ruang serambi depan berfungsi sebagai tempat menerima tamu pria, tetangga dekat, orang-orang terhormat, dan yang dituakan. Ruangan serambi tengah atau ruang induk berfungsi sebagai tempat menerima tamu agung, dan yang sangat dihormati.
Ruang selang samping berfungsi sebagai tempat meletakkan barang yang tidak dibawa ke dalam ruang serambi belakang. Tempat ini merupakan jalan masuk bagi tamu perempuan. Ruang dapur dipergunakan untuk memasak dan menyimpan barang-barang keperluan dapur. Karena susunan papan lantainya jarang, maka sampah dapat langsung dibuang ke tanah. Ruangan kolong rumah biasanya digunakan sebagai tempat bekerja sehari-hari dan menyimpan alat-alat rumah.
Antara jenisnya, rumah kediaman lazim disebut rumah tempat tinggal atau rumah tempat diam, yaitu rumah yang khusus untuk tempat kediaman keluarga. Di dalam kehidupan sehari-hari, rumah kediaman wajib dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya agar lebih memberi kenyamanan dan kebahagiaan bagi penghuninya. Berdasarkan bentuk atapnya, rumah kediaman dinamakan Rumah Bubung Melayu.
Nama Rumah Bubung Melayu diberikan oleh para pendatang bangsa asing, terutama Cina dan Belanda, karena berbeda dengan bentuk rumah mereka, yaitu seperti kelenteng maupun rumah limas yang mereka sebut sebagai rumah Eropa. Sedangkan nama Rumah Belah Rabung diberikan oleh orang Melayu. Karena bentuk atapnya terbelah oleh bubungannya. Orang tua-tua menyebut dengan nama Belah Krol yaitu rambut yang disisir terbelah dua. Nama Rumah Rabung berasal dari kata Rabung, singkatan dari Perabung. Penyebutan ini untuk membedakan dengan bentuk atap yang tidak memakai perabung seperti bangunan pondok ladang atau gubuk yang disebut Pondok Pisang Sesikat.
Sebutan lain yang diberikan untuk rumah adalah berdasarkan pada bentuk kecuraman dan variasi atap. Rumah dengan atap curam disebut rumah Lipat Pandan. Jika atapnya agak mendatar disebut rumah Lipat Kajang, dan bila atapnya diberi tambahan di bagian bawah (kaki atap) dengan atap lain maka disebut rumah Atap Layar. Rumah yang dibuat dengan perabung atap sejajar dengan jalan raya di mana rumah itu terletak, disebut Rumah Perabung. Sedangkan bila perabung rumah tegak lurus terhadap jalan raya di mana umah itu menghadap, disebut Rumah Perabung Melintang.
Rumah didirikan di atas tiang yang tingginya antara 1,50—2,40 Meter. Ukuran rumah tidak ditentukan. Besar kecilnya bangunan bergantung kepada kemampuan pemiliknya. Pada rumah yang didirikan di daerah tepi sungai, tiang dibuat tinggi supaya rumah tidak terendam air pasang. Kolong rumah sering digunakan untuk tempat bertukang membuat perahu atau pekerjaan lain. Di samping sebagai tempat menyimpan sebagian alat pertanian dan alat nelayan.(*)



Gambar 3 Gambar 4


Bentuk Bagian-Bagian Rumah Melayu
1. Atap dan Bumbungan
Rumah Melayu asli memiliki bubungan panjang sederhana dan tinggi. Ada kalanya terdapat bubungan panjang kembar. Pada pertemuan atap dibuat talang yang berguna untuk menampung air hujan. Pada kedua ujung perabung rumah induk dibuat agak terjungkit ke atas. Dan pada bagian bawah bubungan atapnya melengkung, menambah seni kecantikan arsitektur rumah Melayu. Pada bagian belakang dapur bubungan atap dibuat lebih tinggi, berjungkit. Selanjutnya pada bagian bawah, papan penutup rabung ini dibuat semacam lisplang berukir, Dalam bahasa Melayu papan lisplang berukir ini disebut Pamelas. Dengan demikian bentuk pamelas ini melengkung mengikuti bentuk rangka atapnya. Ukiran pada papan pamelas ini ada yang selapis dan ada pula yang dua lapis.



2. Perabungan
Perabung memiliki bentuk lurus. Sebagai lambang lurusnya hati orang Melayu. Sifat lurus itu haruslah dijunjung tinggi di atas kepala dan menjadi pakaian hidup. Hiasan yang terdapat pada perabung rumah adalah hiasan yang terletak di sepanjang perabung, disebut Kuda Berlari. Hiasan ini amat jarang dipergunakan. Lazimnya hanya dipergunakan pada perabung istana, Balai Kerajaan dan balai penguasa tertinggi wilayah tertentu.
Adapun Teban Layar biasa pula disebut Singap, Ebek atau Bidai. Bagian ini biasanya dibuat bertingkat dan diberi hiasan yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi. Pada bagian yang menjorok keluar diberi lantai yang disebut Teban Layar atau Lantai Alang Buang atau disebut juga Undan-undan. Bidai lazimnya dibuat dalam tiga bentuk, yakni bidai satu (bidai rata), bidai dua (bidai dua tingkat) dan bidai tiga (bidai tiga tingkat).

3.Tiang
Bangunan tradisional Melayu adalah bangunan bertiang. Tiang dapat berbentuk empat sama sisir (bujur sangkar) atau bersegi. Tiang yang bersegi diketam dengan ketam khusus yang disebut Kumai. Sanding Tiang adalah sudut segi-segi tiang. Di antara tiang-tiang itu terdapat tiang utama, yang disebut Seri. Tiang Seri adalah tiang-tiang yang terdapat pada keempat sudut rumah induk, merupakan tiang pokok rumah tersebut.
Tiang ini tidak boleh bersambung, harus utuh dari tanah sampai ke tutup tiang. Sedangkan tiang yang terletak di antara tiang seri pada bagian depan rumah, disebut Tiang Penghulu.
Masing-masing baris 4 buah tiang, termasuk tiang seri.
Jika keadaan tanah tempat rumah itu didirikan lembek atau rumah itu terletak di pinggir, maka tiang-tiang itu ditambah dengan tiang yang berukuran lebih kecil. Tiang tambahan itu disebut Tiang Tongkat. Tiang Tongkat biasanya hanya sampai ke rasuk atau gelegar. Untuk menjaga supaya rumah tidak miring, dipasang tiang pembantu sebagai penopang. Bahan untuk Tiang Seri haruslah kayu pilihan. Biasanya teras kayu Belian (Besi) dan Tembesu, dan juga digunakan pada Tiang Tongkat. Tiang-tiang lainnya mempergunakan kayu keras dan tahan lama.. Ukuran ini bergantung kepada besar atau kecilnya rumah. Semakin besar rumahnya, besar pula tiang-tiangnya. Tiang yang kelihatan di bagian dalam rumah selalu diberi hiasan berupa ukiran.
Bagi pemilik rumah yang mampu, seluruh tiangnya dibuat persegi. Tetapi bagi yang kurang mampu, tidak seluruh tiang persegi, melainkan hanya tiang seri atau beberapa tiang lainnya, atau bahkan semuanya bulat.Bentuk tiang secara tradisional, mengandung lambang yang dikaitkan dengan agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat. Termasuk kaitannya dengan alam lingkungan dan arah mata angin.

4.Pintu
Pintu yang sering disebut dengan Lawang. Pada bagian pintu masuk di bagian muka rumah disebut muka pintu. Pintu di bagian belakang disebut pintu dapur atau pintu belakang. Pintu yang ada di ruangan tengah pada rumah yang berbilik, pintu yang menghubungkan kamar dengan kamar. Khusus untuk keluarga perempuan terdekat atau untuk anak gadis, dan dibuat terutama untuk menjaga supaya jika penghuni rumah memiliki keperluan dari satu bilik ke bilik lainnya tidak melewati ruangan tengah. Kegunaan untuk terlindung dari tamu yang ada pada ruang tengah dan menjadi adat, bahwa ruangan tengah dipergunakan untuk menerima tamu yang terdiri dari orang tua-tua, atau kerabat terdekat yang dihormati. Sangat dilarang bagi anak-anak melewati tamu dan berjalan dihadapannya. Di samping itu ada pula pintu yang dibuat khusus disebut Pintu Bulak, yaitu pintu yang tidak memiliki tangga keluar. Pada prinsipnya pintu ini sama seperti jendela, hanya ukurannya yang berbeda. Biasanya bagian bawah pintu ini diberi pagar pengaman berupa kisi-kisi bubut atau papan tebuk. Di situ diletakkan kursi malas, yakni kursi goyang, tempat orang tua duduk berangin-angin. Dari tempat orang tua-tua itu memperhatikan anak-anak bermain di halaman.
Ukuran pintu umumnya lebar antara 60 sampai 100 Cm, tinggi 1,50 sampai 2 Meter. Pada mulanya pintu tidak memakai engsel. Untuk membuka dan menutup pintu dipergunakan semacam Putting yang ditanamkan ke bendul atau balok sebelah bawah dan balok sebelah atas pintu. Kunci dibuat dari kayu yang disebut Pengkelang.
Pintu dapat terdiri atas satu atau dua daun pintu. Pintu dikunci memakai belah pintu atau Pengkelang (palang pintu dari sebelah dalam).. Di atas pintu kebanyakan dibuat dengan ukiran yang indah hal ini menunjukan martabat pemilik rumah.
5.Jendela
Jendela lazim disebut Tingkap. Bentuknya sama seperti bentuk pintu. Tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih rendah. Daun jendela dapat terdiri atas dua atau satu lembar daun jendela. Hiasan pada jendela dan pagar selasar disebut juga Kisi-kisi atau Jerajak. Kalau bentuknya bulat disebut Pinang-pinang atau Larik. Bila pipih disebut Papan Tebuk. Hiasan ini melambangkan bahwa pemilik bangunan adalah orang yang mengerti dengandiri sendiri. Ketinggian letak jendela di dalam sebuah rumah tidak selalu sama. Perbedaan ketinggian ini adakalanya disebabkan oleh perbedaan ketinggian lantai. Ada pula yang berkaitan dengan adat istiadat. Umumnya jendela tengah di rumah induk lebih tinggi dari jendela lainnya. Tingkap pada singap disebut tingkap bertongkat. Tingkap ini merupakan jendela anak dara yang lazimnya berada di ruangan atas (para).
Tingkap yang terletak pada bubungan dapur disebut Angkap.
Jendela dibuka keluar, ada yang berdaun satu dan kebanyakan berdaun dua. Jendela dibuat dari papan dan digantung dengan engsel pada kosen. Pada kosen ini dipasang kisi-kisi atau Telai yang tingginya 80—9- Cm, dan biasanya diberi ukiran.
mempergunakan Putting. Kuncinya juga dibuat dari kayu yang disebut Pengkelang. Sebagai pengaman, di jendela dipasang jerajak panjang yang disebut Kisi-kisi atau Jerajak yang terbuat dari kayu segi empat atau Bubutan (Larik). Kalau jendela itu tidak memakai jerajak, biasa pula diberi panel di sebelah bawahnya, yang tingginya antara 30 sampai40Cm.

6.Dinding
Model tradisional rumah Melayu pada umumnya papan dinding dipasang vertical. Kalau pun ada yang dipasang miring atau bersilangan, pemasangan tersebut hanya untuk variasi. Cara memasang dinding umumnya dirapatkan dengan Lidah Pian. Atau dengan susunan bertindih yang disebut Tindih Kasih. Cara lain adalah dengan pasangan horizontal dan saling menindih yang disebut Susun Sirih. Pada umumnya dinding terbuat dari kayu meranti, punak, medang atau belian.



V. Penutup
Arsitektur tradisional Melayu Kayong terkandung nilai kearifan lokal. Model dan bentuk dari rumah tersebut mempunyai ciri khas dari masyarakatnya yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan di dalam kehidupan di lingkungannya. Model Rumah Limas dan potongan gudang mengambarkan pemiliki rumah mempunyai kedudukan secara social terbuka kepada siapa saja yang akan bertamu dan ikhlas menerima tamu, tamu yang datang sebagai suatu kehormatan yang harus dihargai. Perabungan tinggi menjulang kesadaran pemilik rumah bahwa di dalam kehidupan menjunjung tinggi secara lurus dan mempunyai rasa toleransi yang tinggi terhadap lingkungansekitarnya
Pada ruang utama tamu yang datang diberikan kehormatan, pada umumnya duduk ditikar memungkinkan tamu yang lebih banyak dan mendapatkan tempat yang layak. Kamar khusus juga disediakan bagi tamu yang datang dari jauh, agar beristirahan dengan tenang. Kamar anak-anak dipisahkan dari kamar orang tua, kamar anak terletak dibelakang kamar orang tua, agar orang tua dapat setiap saat mengontrol anak-anaknya dan menjaga dari kemungkinan yang tidak diinginkan.
Dari segi keindahan, terlihat adanya ragam hias yang bermacam-macam bentuk dan coraknya, sehingga menunjukkan tingginya kebudayaan ukiran tradisional Melayu. Demikian pula dengan susunan ruangan. Terlihat adanya tingkatan penghormatan terhadap para tamu yang datang. Rumah tradisional Melayu yang berbentuk rumah panggung selain untuk menjaga keselamatan penghuni dari ancaman binatang buas, juga dimaksudkan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pemilik rumah. Banyaknya jendela dan lubang angin menjamin kesegaran dan kenyamanan orang yang menempati rumah. Rumah serta letak jendela dan pintu yang tinggi membuat kedatangan tamu ataupun ancaman telah tampak dari jauh. Pada saat ini perhitungan waktu, arah, serta lokasi rumah, upacara-upacara tidak lagi dilaksanakan. Musyawarah juga tidak lagi menjadi syarat, terutama bagi orang-orang Melayu yang tinggal di perkotaan.
Bentuk dan fungsi rumah tipologi rumah bumbung Melayu yang disebutkqan bangsa asing terutama dari suku tionghua dan Belanda menyebut rumah tradisional tersebut dengan sebutan rumah Melayu. Atap dan dinding dan lesplang berukir menjulang keatas, tiang penyanggah persegi lebih diutamakan tiang seri sebagai sebuah simbol keberadaan rumah yang bisa mendatangkan rezeki bagi pemiliknya, pintu yang lazim disebut dengan sebutan lawang yang terdapat pada bagian depan,tengah dan belakang, jendela disebut dengan tingkap dengan kisi-kisi daun yang disusun sirih dan dinding yang disusun secara vertical dari kayu belian dengan dirapatkan diantara papan satu dengan lainnya.
Rumah pada saat ini dapat saja berfungsi sekaligus sebagai rumah rumah tinggal dan berfungsi juga sebagai tempat ibadah dengan kegiatan social lain seperti pengajian, tempat pertemuan anggota masyarakat . Rumah juga difunsikan sebagai tempat musyawarah bagi keluarga besar dan persoalan masyarakat pada umumnya.

(Sumber : http://ace-informasibudaya.blogspot.com/2010/01/arsitektur-rumah-melayu-kayong.html)

ARSITEKTUR TRADISIONAL DALAM PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PAPUA

ARSITEKTUR TRADISIONAL DALAM PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN Dinegara berkembang, sejak dahulu masyarakatnya mempunyai apresiasi tinggi terhadap arsitektur. herbage tulisan, biku hasil kajian ilmiah, penelitian tentang arsitektur banyak sekali ditulis, diterbitkan, dibaca, dan aliran-alirannya diwujudkan dalam gaya bangunan sebagai kebesaran identitas mereka, tidak hanya oleh para arsitek, tetapi oleh kalangan luas dan herbage lapisan masyarakat. Disbanding dengan daerah lain, propinsi papua yang juga memiliki gaya arsitektur cukup khas yang mana bisa diangkat sebagai kebesaran dan kejayaan bagi orang papua sangat dilupakan. Pada bagian ini saya coba mengkaji keberhasilan, kesalahan dan kekurangan yang dilakukan guna mengangkat arsitektur tradisional papua dalam perkembangan pembangunan. Menjadi pelajaran saat ini dan waktu akan dating bahwa pembangunan yang telah dikembangkan sekarnag tidak mengerti kebudayaan dan tidak mencerminkan kepribadian budaya setempat serta tidak begitu mempertahankan identitas arsitektur setiap daerah di papua. Salah satu tolok ukur kemajuan budaya sebuah daerah dilihat dari aliran aristektur yang mana tampil dalam wajah dan fisik bangunan. Kecenderungan masyarakat dan pemerintah dalam mengadopsi gaya – gaya arsitektur luar seperti gaya arsitektur colonial, gaya arsitektur romawi, gaya arsitektur joglo, gaya arsitektur minang, dan.y.l. hal ini membuat arsitektur tradisional setiap suku bangsa di papua terlupakan. Ini merupakan suatu penjajahan kultur yang menindas budaya papua. Dengan semakin dilupakannya aliran – aliran arsitektur tradisional papua, maka ikut pula menghilang kebesaran citra, karsa, dan karya orang papua, karena sebagaimana dalam ungkapan bahasa semboyang arsitektur mengatakan bahwa; “arsitektur adalah gambaran jiwa raga dan roh seseorang”, inilah kebesaran yang terlupakan. Dengan demikian, ditekankan bahwa dalam mendisain pembangunan papua yang hormat budaya, maka diharuskan untuk mengangkat dan mengikutsertakan aliran arsitektur tradisional dalam mendirikan sebuah bangunan, kalaupun masyarakat tidak mengembangkannya, sebisamungkin gedung-gedung pemerintah tiap daerah wajib mengambil gaya dan corak arsitektur tradisional daerah setempat. Beberapa bentuk arsitektur tradisional papua yang cukup unik dan menggambarkan kebesaran orang papua seperti; bentuk bangunan rumah Honai, rumah tradisional Enjros tobati, rumah tradisional arfak, dan rumah tradisional harit di maybrat imian sawiat kabupaten sorong selatan. Suatu ungkapan kekesalan kini adalah bahwa daerah-daerah propinsi papua yang memiliki gaya arsitekturnya sendiri ini begitu didominasi oleh bangunan – bangunan dari daerah lain. Hal ini disebabkan karena pemerintah Hindia Belanda lebih awal membangun papua dengan menerapkan aliran arsitektur colonial, sebagaimana hingga saat ini difungsikan sebagai gedung atau perkantoran-perkantoran pemerintah daerah bahkan ada yang dijadikan sebagai rumah hunian masyarakat. Suatu pembunuhan karakter budaya arsitektur papua yang telah dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda di daerah propinsi papua. Dikabupaten Sorong Selatan, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1950, secara brutal membongkar rumah-rumah tradisional yang dibangun oleh orang maybrt imian sawiat sebagai bangunan terhormat seperti rumah sekolah dan gereja (samu k’wiyon-bol wofle), dengan menerapkan larangan-larangan untuk tidak mengembangkan atau membangu bangunan-banguan tersebut kembali. Hal ini membuat orang maybrat imian sawiat kini kehilangan gaya dan aliran arsitektural mereka. Disisilain, pada tahun 1962, pemerintahan indoneisa telah masuk kewilayah papua, yang mana pada waktu itu disebut Irian Jaya dan menetap hingga sekarang dengan penerapan bangunan yang juga tidak mempedulikan aliran arsitektur lokal. Kini aliran arsitektur dari daerah lain yang mendominasi wajah perkotaan di seluruh papua. Persoalannya bukanlah terletak pada kurangnya tenaga-tenaga arsitektur papua, tetapi keinginan daripada pemilik yang mana cenderung menginginkan gaya arsitektur lain ketimbang tidak menyadari akan gaya arsitekturnya yang tampak sederhana, berbobot, bergaya sendiri, dengan segala macam nilai yang terkandung didalamnya. Tampak jelas ketika kita berada diberbagai daerah; kabupaten sorong contohnya, gaya arsitektur yang mendominasi diwilayah pesisir sungai remu adalah gaya arsitektur bajo suku bugis, begitupun yang terdapat di pesisir pantai tehit, gaya arsitektur yang tampak mendominasi adalah arsitektur tradisional Bajo, orang bugis. Di jayapura, kini didominasi oleh arsitektur Asia, colonial, dan disisipi dengan gaya arsitektur minang. Dimanokwari, arsitektur arfak juga terlupakan dan kini wajah kota manokwari didominasi oleh aliran arsitektur colonial, asia dan disisipi oleh aliran arsitektur minang. Didaerah wamena yang gaya arsitektur tradisionalnya yang begitu terkenal di dunia (honai), masih juga tidak begitu diperhatikan, wajah kotanyapu masih terlihat hamparan wajah arsitektur pendatang semua. Merupakan salah satu pengikisan budaya bangsa. Arsitektur tradisional setiap daerah di propinsi papua merupakan kebesaran setiap suku bangsa tersebut, karena merupakan hasil ciptaan mereka yang sebenarnya. Proses akulturasi terhadap gaya arsitektur ini membuat orang papua semakin ditelanjangi dengan cara yang dipergunakan oleh penjajah. Dalam refleksi arsitektur tradisional papua yang telah kami analisis, merupakan suatu cara penjajahan terhadap budaya. Selain budaya-budaya lain dibuang, disisi yang lain kekayaan budaya dicuri serta diperdagangkan seperti ukiran, tarian dan corank budaya unik lainnya. Suatu kesimpulan daripada refleksi budaya papua “bahwa orang papua dulu sebelum penjajahan, disini diibaratkan seperti seorang gadis manis yang sedang direbut oleh beberapa orang, setelah ia berhasil direbut, bukan karena cantiknya saja yang menjadi rebutan, tetapi segala perhiasan yang dikenakan disekujur tubuhnya diambil oleh orang yang merebutnya setelah itu itu busana yang dikenakannyapun dilepaskan satupersatu dan dibuang, kini seorang nona cantik menjadi kehilangan harga dirinya karena semua yang ada padanya sebagai kebesaran telah hilang dan kini dia telanjang sampai-sampai mahkotanya turut diambil, tetapi bersyukur karena ia masih hidup. Walaupun ia masih hidup, dan ia mampu menciptakan busana yang baru, tetapi tidak semuanya dari bahan yang ia miliki tetapi dari bahan-bahan punya orang yang diambil dalam membuat busananya, karena semuanya serba palsu maka nilai dirinya kini berkurang”. Suatu penjajahan terhadap arsitektur-arsitektur papua yang sedang berlangsung. Semangat pembangunan yang ditunjukkan adalah semangat yang kami sebut egoisme membangun. Kata egoisme membangun disini saya gunakan karena konsep pembangunannya tidak menghargai apa yang disebut dengan potensi lokal (local potences), konsep pembangunannya begitu tertutup (closely building concept), memikirkan dirinya sendiri (egoism), walaupun ia berada di wilayah kekuasaan budaya lain, akan tetapi tetap menggunakan konsep budaya asing untuk diterapkan. Inilah sesuatu penjajahan budaya yang sedang diterapkan di propinsi papua, yang mana secara sinergis sedang mengikis selain arsitektur, budaya-budaya lainpun ikut terkikis. Arsitektur bagi sejarah manusia merupakan sebuah karya besar dan termasyhur yang pernah dibuat oleh nenekmoyang setiap sukubangsa didunia. Sedangkan bumi sendiri merupakan rumah yang dirancang dan dibangun oleh Tuhan, dan tak ada seorangpun yang mampu menciptakan planet bumi yang lain menyaingi atau melampaui yang diciptakan oleh Tuhan, begitupun ciptaan setiap suku bangsa tidak mungkin sama dan tidak seorang sukubangsapun yang berhak untuk menghilangkanm ciptaan orang lain. Sejarah perkembangan arsitektur suku bangsa di propinsi papua mencakup dimensi ruang dan waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya. Olehkarena itu dalam konsep pembangunan di propinsi papua, seharusnya dikonsepsikan sesuai dengan aliran arsitektur lokal yang ada disetiap daerah yang mendasar pada jenis bangunan dan terkait dengan fungsinya. Dikatakan demikian karena daerah-daerah di propinsi papua dengan konsep dan gaya aliran arsitekturnya selalu mempunyai aturan, makna dan fungsi yaitu; rumah suci, Rumah berkumpul, Rumah hunian, Rumah pendidikan. Sebenarnya Tidak begitu sulit dalam mengembangkan konsep pembangunan sekarang dengan menggunakan aliran arsitektur lokal. a.Keberhasilan Penerapan Konsep Arsitektur Tradisional Dalam Pembangunan Papua Suatu keberhasilan konsep arsitektur tradisional papua yang menonjol kerapkali hanya terlihat pada Gapura, ukiran-ukiran dan lukisan dinding. Untuk konsep arsitektur dalam gaya bangunan tidak begitu ditonjolkan atau samasekali tidak dipake dalam konsep pembangunan, walaupun beberapa daerah mampu manampilkan gaya arsitektur mereka seperti gaya arsitektur Enjros sentani yang dikembangkan di kota jayapura, dan honai wamena yang juga dikembangkan di kabupaten wamena, namun tetapi belum sepenuhnya mencapai 100%. Sedangkan didaerah kabupaten lain seperti kabupaten sorong selatan tidak pernah menampilkan gaya arsitektur harit, dan kabupaten manokwari dengan gaya arsitektur arfaknya tidak terlihat wajahnya di dalam konsep pembangunan. Diwamena dan jayapura telah berhasil dengan menampilkan wujud arsitektur tradisionalnya Karen ada kesadaran akan nilai-nilai yang terkandung. Sedang didaerah lainnya, kecenderungan dengan prinsip egoisme pembangunan sangat mendominasi, akhirnya nilai-nilai yang ada didaerah setempat terlupakan dan hilang dengan sendirinya. Bila dipandang dari konsep arsitekturnya, papua akan dikatakan sebagai daerah dengan keberhasilan membangun sendiri jikalau konsep aliran arsitektur yang dipakai dalam pembangunan dengan menggunakan konsep arsitektur tradisional. Karena disinilah papua akan terkenal dengan kebhinekaan gaya arsitektur tradisionalnya, papua akan disebut sebgai sebuah bangsa yang berjaya yang mana kejayaannya ditunjukkan melalui aliran-aliran arsitekturalnya. b.Kesalahan Konsep Pembangunan Tanpa Arsitektur Tradisional Bilamana kita berbicara mengenai konsep, maka kita berbicara tentang arah, kebijakan, cara, metode, yang ditampilkan dalam mengembangkan sesuatu ide yang dikonsepsikan. Berkaitan dengan konsep pembangunan, setiap manusia atau kelompok dan sukubangsa mempunyai metode atau konsepnya masing-masing dan berbeda, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang ada. Suatu kesalahan dalam konsepsi pembangunan yang serign ditemukan saat ini adalah, konsep pembangunan tanpa arsitektur lokal. Setiap suku bangsa di papua mempunyai aliran atau gaya bangunan arsitekturalnya yang unik, akan tetapi seringkali ketika dalam konsep pembangunan, aliran arsitektur tradisional ini tidak diingat (terlupakan) atau tidak dimunculkan dalam proses pembangunan. Padahal ketika kita berbicara mengenai arsitektur tradisional, kita telah berbicara tentang suatu jatidiri, idealisme, citra, rasa, karya, karsa suatu bangsa karena arsitektur tradisional adalah bagian dari kebudayaan manusia, berkaitan dengan herbage segi kehidupan seperti; seni, teknik, ruang/tata ruang. Perkembangan konsep pembangunan daerah saat ini cenderung mengesampungkan gaya arsitektur tradisional lokal (setempat) yang bila dikembangkan, mampu mengangkat kebesaran nama suatu daerah yang akan dikenal dan berjaya. Misalnya arsitektur Joglo, arsitektur Honai, arsitektur colonial, arsitektur bizantum, arsitektur minang, arsitketur fengsui, arsitektur harit, sudah ada di wilayahnya masing-masing sejak zaman keberadaan nenek moyangnya, dan berkembang bersama-sama dalam kehidupan mereka. Faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga arsitektur tradiaionl menjadi terlupakan adalah: 1.pengaruh aliran arsitektur luar dengan gaya, estetika dan bentuk yang moderen. 2.keinginan pemilik bangunan rumah yang cenderung menginginkan bentuk arsitektur model aliran lain. 3.pemerintah setempat tidak fasih dalam mengembangkan suatu konsep pembangunan dengan menggali kearifan lokal, sehingga arsitektur tradisional tidak dapat diperhatikan. 4. tenaga perancang dan ahli-ahli arsitektur yang tidak jeli dalam mengangkat aliran arsitektur tradisional untuk menterjemahkannya dalam bentuk moderen, sehingga arsitektur local tetap tersembunyi/hanya dalam baying-bayang tradisional aja. Kelengkapan Hidup Sejarah kehidupan manusia telah mencatat bahwa, manusia pertama nenek moyang kita; hidup sebagai pengembara atau manusia yang hanya mencari nafkah secara terus-menerus dan berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain. Pada zaman ini, manusia tidak memiliki kelengkapan hidupnya seperti; api, kapak, dan busana. Hal ini diakibatkan karena mereka belum memiliki kamampuan mencipta. Sejarah orang maybrat imian sawiat telah memuat catatan perjalanan hidup mereka semenjak nenek moyang. Catatan ini juga sama dengan catatan sejarah perjalanan nenekmoyang manusia dari herbagai belahan dunia lainnya. Manusia maybrat imian sawiat mula-mula juga tidak memiliki kelengkapan hidup pada zaman ini, dan mereka sebagai manusia pengembara atau pencari nafkah dengan berpindah-pindah tempat. Dalam penelitian kami dibeberapa kampong pada tahun 2000 – 2001, yaitu dikampong; udagaga, makaroro, mogatemin, mugim, keyen, sengguer, moswaren, sedangkan penelusuran sejarah dan penelitian kami selanjutnya pada tahun 2004 dan 2007 dari wilayah; Ayamaru, sosian, temel, mapura, suwiam, yukase, segior, kartapura, sauf, sembaro, soroan, welek, pasir putih, malabolo, klamit, kladut, kambuaya, jitmau, kartapura, arus, kambufatem, susmuk, aifat, mare, karon, dan menyusuri sungai kamundan, mukamat, ayata, kamro, teminabuan, wehali, serbau, serer, tofot, haha, woloin, imian, dan wainslolo, ditemukan beberapa laporan tentang kelengkapan hidup manusia maybrat imian sawiat yaitu; A.Bahasa Sejarah perkembangan bahasa maybrat, bahasa sawiat, bahasa imian, tidak begitu diketahui keberadaannya semenjak kapan, akan tetapi untuk bahasa tubuh, sudah ada atau telah digunakan oleh menusia maybrat imian sawiat, primitive ketika jumlah keanggotaan mereka lebih dari satu orang. Bahasa tubuh merupakan bahasa komunikasi pertama yang telah dipakai oleh orang maybrat imian sawiat. B.Kapak Batu Orang maybrat imian sawiat mula-mula atau disebut manusia primitive, dalam kehidupan mereka, kelengkapan hidup yang pertamakali dikenal oleh orang maybrat imian sawiat adalah kapak batu (stone axe) “fra maãn” dalam sebutan bahasa maybrat. Data yang diambil tentang kapak batu (stone axe) tentang kelengkapan hidup manusia primitive maybrat imian sawiat, dikenal pada zaman batu. Sayangnya kapak batu (stone axe) ini tidak ditemukan wujudnya, karena telah dibuang/dimusnahakan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1950.y.l. dan lokasi atau kampong-kampong yang dihuni juga dibubarkan untuk digabungkan kekampong-kampong sekitar guna perluasan kampong. Mungkin sebaiknya kita kembali untuk membongkar lokasi-lokasi bekas kampong yang dibubarkan untuk pencarian benda-benda prasejarah yang dibuang. Manusia primitive maybrat imian sawiat pertama yang membawa kapak batu (stone axe) adalah Tiĩ Srowy di teminabuan, kemudian diambil oleh seorang manusia primitive yang bernama Woroh Simian, dan membawanya ke daerah Fayoh. Ketika itu woroh simian bertemu dengan seorang manusia primitive yang bernama Fhour Dyaman. Disinilah awal mula nenekmoyang orang maybrat imian sawiat mengenal kapak batu (stone axe). Dari uraian ini, jelaslah bahwa manusia maybrat imian sawiat pertama yang mengenal dan memperkenalkan kapak batu (stone axe) adalah Tiĩt Sroey yang adalah manusia primitive/nenekmoyang yang hidup didaerah tehit (kini Teminabuan). C.Api – Tafoh – Sala (flame) Orang maybrat imian sawait primitive kemudian mengenal api ‘tafoh-sala’ (flame), yang mana diperkirakan pada zaman batu. Api, pertamakali dikenal didaerah maybrat, api yang mana dikenal melalui fenomena alam, yaitu ketika terjadi gesekan antara pepohonan yang satu dengan pohon yang lainnya, dan menimbulkan percikan api sehingga menjadi bara api. Nama api (flame) yang pertama dikenal dalam bahasa primitive orang maybrat adalah; SSS, dan FUF. Ini adalah nama api yang dikenal pertama kali di zaman itu, karena ketika penemunya yang bernama tafoh yang kini namanya digunakan dalam sebutan api, (dalam bhs. maybrat). Ketika itu dia (tafoh) melihat percikan api yang timbul ketika gesekan pohon lalu menjadi bara api, dia (tafoh) lalu mendekatinya dan menyentuhnya dengan tangan, tetapi karena tangannya terbakar sehingga ia meringis kesakitan dengan mengeluarkan kata SSS, setelah itu, tafoh mendekatinya untuk keduakalinya dengan keinginan memadamkannya dengn cara meniupnya. Ketika ia mencoba untuk meniupnya dan bunyi nafas tiupannya yang terdengar FUF, oleh kerabat-kerabatnya yang bersama dengan dia, sehingga mereka menyebut api dengan nama FUF dengan menggunakan bahasa tubuh untuk mengatakan kepada kerabat yang lain tentang api. Dari penemuan ini, dipertahankan dan berkembang hingga zaman megalitik, yang mana manusia maybrat imian sawiat primitive mulai mengembangkan teknologi sederhana penghasil api (flame tecnology). Pada zaman ini, manusia maybrat imian sawiat yang begitu primitive, sedikit demi sedikit mulai mengalami perubahan. Pada zaman ini pula mereka mulai mencoba untuk meramu bahan-bahan untuk menciptakan api. Bahan-bahan yang digunakan pertamakali untuk pembuatan api adalah: a.Rotan (toŏ atu) b.Kayu (ara) c.Ampas dedaunan kering (hita gat) d.Cara kerjanya adalah; Rotan dililitkan pada batan kayu dan ampas dedaunan kering diletakan dibawah dan selanjutnya tali rotan ditarik kekiri dan kekanang dengan bergesekan pada dinding kayu secara bergantian selama beberapa menit dan ketika kayunya panas, maka menimbulkan percikan api yang jatuh pada ampas dedaunan kering sehingga menjadi bara api. Bahan yang digunakan kedua atau model kedua: a.Bambu (tbil/bron) b.Pecahan batu (fra habah) c.Ampas dedaunan kering (hita gat) Cara kerjanya adalah: pecahan batu digesekan pada dinding bamboo kering secara teratur berulang kali pada lokasi gesekan yang sama, sedangkan dibagian bawah disiapkan ampas dedaunan kering, setelah gesekan tersebut menghasilkan percikan api, yang jatuh pada ampas dedaunan kering itu sehingga menghasilkan bara api dalam beberapa menit. Bahan yang dibunakan ketiga, atau model ketiga: a.Pecahan kaca/beling botol (kusia habah) b.Bamboo (tbil/bron) c.Ampas kayu/dedaunan kering (ara magi/hita gaat) Cara kerjanya adalah: pecahan kaca/beling digesekan pada kulit bamboo kering secara teratur berulang kali kepada tempat gesekan yang sama dan beling dilapisi dengan ampas kayu, sehingga ketika percikan api keluar langsung pada ampas kayu yang ada dan menghasilkan bara api. Model teknologi pembuatan api yang ketiga dengan bahan kaca/beling, semenjak abad 16, ketika VOC masuk ke wilayah maybrat imian sawiat. Pada abad ini pula orang maybrat imian sawiat mengenal barang-barang pecah belah dan korek api. D.Busana Orang maybrat imian sawiat dalam proses hidupnya, ia baru mengenal busana kemudian setelah kelengkapan yang lain seperti kapak batu (stone axe), dan api (flame) dikenal. Sejarah orang maybrat imian sawiat mengungkapkan bahwa nenekmoyang mereka pada mulanya hidup dalam ketelanjangan tanpa busana. Akantetapi sedikit demi sedikit waktu memproses mereka dengan diimbangi otak dan nalar yang kian mulai berpikir untuk berkembang menjadi manusia moderen, sehingga mereka mencoba untuk meramu segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan hidup mereka yang mana ikut merubah hidup mereka dari kehidupan primitive hingga menjadi manusia moderen sekarang ini. Nenekmoyang orang maybrat imian sawiat yang pertama memakai busana cawat/cedaku (gitaut) adalah Hafra Hafuk. Kemudian diperkenalkan kepada anaknya yaitu Hefy Hafuk, dan selanjutnya Hefy Hafuk, memperkenalkannya kepada anaknya Saf Haafuk, (kini sesa dumufle). Bahan yang digunakan sebgai busana adalah kulit kayu (fijoh malak), yang berwarna Putih. Akan tetapi busana dari kulit kayu tersebut kemudian digantikan dengan bahan kain, pada abad ke-16, dimana orang Maybrat imian sawiat mengenalnya melalui para pedagang VOC. Sejarah orang maybrat imian sawiat dalam mengenal busana ini pada zaman dan tahun yang tidak diketahui. 
 
(Sumber : http://hamah.socialgo.com/forum/top/4)

Majid Agung Sumenep, Paduan Arsitektur Dunia

 
Menghadap ke Taman Kota, yang berada di sebelah Timurnya. Dengan gerbang besar, pintu kayu kuno, yang berdiri kokoh menghadap matahari terbit. Masjid Agung Sumenep, yang dulu dikenal dengan nama Masjid Jami’, terletak ditengah-tengah Kota Sumenep.

Masjid ini dibangun setelah pembangunan Kraton Sumenep, sebagai inisiatif dari Adipati Sumenep, Pangeran Natakusuma I alias Panembahan Somala (1762-1811 M). Adipati yang memiliki nama asli Aria Asirudin Natakusuma ini, sengaja mendirikan masjid yang lebih besar. Setelah sebelumnya dibangun masjid, yang dikenal dengan nama Masjid Laju, oleh Pangeran Anggadipa (Adipati Sumenep, 1626-1644 M). Dalam perkembangannya, masjid laju tidak mampu lagi menampung jemaah yang kian banyak.
Setelah keraton selesai pembangunannya, Pangeran Natakusuma I memerintahkan arsitek yang juga membangun keraton, Lauw Piango, untuk membangun Masjid Jami’. Berdasar catatan di buku Sejarah Sumenep (2003) diketahui, Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Ia diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut ‘Huru-hara Tionghwa’ (1740 M).
Masjid Jami’ dimulai pembangunannya tahun 1198 H (1779 M) dan selesai pada tahun 1206 H (1787 M). Terhadap masjid ini Pangeran Natakusuma berwasiat yang ditulis pada tahun 1806 M, bunyinya sebagai berikut;
“Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”
Dari tinjauan arsitektural, memang banyak hal yang khas pada bangunan yang menjadi pusat kegiatan masyarakat Islam di kabupaten paling timur Pulau Garam ini. Memperhatikan fisik bangunan, layaknya menganut eklektisme kultur desain.
Masjid Jami’ Sumenep dari bentuk bangunannya bisa dikata merupakan penggabungan berbagai unsur budaya. Mungkin pula sebagai bentuk akomodasi dari budaya yang berkembang di masyarakatnya. Pada masa pembangunannya hidup berbaur berbagai etnis masyarakat yang saling memberikan pengaruh.
Yang menarik lagi, bukan hanya kolaborasi gaya arsitektur lokal. Tetapi lebih luas, yaitu antara arsitektur Arab, Persia, Jawa, India, dan Cina menjadi satu di bangunan yang istimewa ini. Mungkin pula berbagai etnis yang tinggal dan hidup di Madura lebih banyak lagi, sehingga membentuk struktur bangunan lengkap dengan ornamen yang menghias bangunan ini secara keseluruhan.
Kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid, sangat mungkin mewakili arsitektur Arab-Persia. Penerapannya tidak semata-mata, terdapat sejumlah modifikasi yang berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Ornamen yang kemudian dipertegas dengan warna-warna menyala, menggambarkan corak bangunan dari Gujarat-Cina. Semakin kental atmosfirnya ketika berada di bagian dalam bangunan utama. Memperhatikan mihrab masjid yang berusia 799 tahun ini, pada mimbar khotbah, hingga ornamen seperti keramik yang menghiasi dindingnya.
Bangunan bersusun dengan puncak bagian atas menjulang tinggi mengingatkan bentuk-bentuk candi yang menjadi warisan masyarakat Jawa. Kubah berbentuk tajuk juga merupakan kekayaan alami pada desain masyarakat Jawa.
Struktur bangunan secara keseluruhan menggambarkan tatanan kehidupan masyarakat yang rumit di saat itu. Jalinan hubungan antaretnik yang hidup di Madura dapat disaksikan dari bangunan utuh dari sosok masjid Agung Sumenep ini.
Pada bagian depan, dengan pintu gerbang yang seperti gapura besar, beberapa orang berpendapat juga menampakkan adanya corak kebudayaan Portugis. Konon, masjid Agung Sumenep merupakan salah satu dari sepuluh masjid tertua di Indonesia dengan corak arsitektur yang khas.
Perkembangan Islam di tanah Jawa, pula menjadi bagian dinamika kehidupan masyarakat Madura. Perkembangan ajaran Islam di Pulau Madura, tak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pergumulan masyarakat Jawa yang secara gegrafis terpisah dengan Selat Madura. Perkembangan Islam di Ampel dan Giri menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Madura. Pada jamannya, tugas dakwah yang diemban para wali meliputi seluruh daerah, termasuk Jawa dan Madura.
Dalam perkembangan Islam di Madura tak lepas dari para pedagang yang datang dari Gujarat (India) serta para perantau yang berasal dari jazirah Arab. Mereka yang berhasil mendarat di Madura juga memberi kontribusi akibat interaksi, baik budaya maupun tata kehidupan.
Model akulturasi budaya yang ada di masa silam, secara jelas masih bisa dinikmati sekarang. Yaitu dengan melihat kekayaan detil arsitektural yang ada di masjid Jami’ Sumenep. Walaupun pada sekitar tahun 90-an masjid ini mengalami pengembangan, dengan renovasi pada pelataran depan, kanan dan kirinya. Namun demikian tidak mengurangi eksotismenya hingga sekarang.-az alim

(Sumber : http://budayamadura.blog.com/2011/03/11/majid-agung-sumenep-paduan-arsitektur-dunia/)

Kampung Pulo Wujud Arsitektur Tradisional Sunda

PADA umumnya konsep arsitektur tradisional menempatkan unsur alam sebagai konsep dasar rancangannya. Sebaliknya di dalam arsitektur modern aspek manusia berdiri sebagai pusat segalanya atau sebagai titik sentral. Dalam pikiran mitologis atau mitis manusia masih menghayati diri tenggelam bersama seluruh alam dan dunia gaib (Mangunwijaya, 1995).
Sebagian besar konsep dasar bangunan arsitektur tradisional bersumber dari alam (kosmos) yang digambarkan melalui mitos-mitos, kepercayaan atau agama. Refleksi kekuatan di luar manusia tersebut acapkali diwujudkan dalam berbagai hal, misalnya dalam wujud bangunan, penataan kawasan maupun penggunaan elemen dekorasi.
Berdasarkan pengamatan selama ini bentuk atau gaya arsitektur bangunan di beberapa suku tiada lain sebagai refleksi terhadap fenomena alam ketimbang aspek fungsional.
Konsep arsitektur tradisional Sunda menyatu dengan alam
Secara umum konsep dasar rancangan arsitektur tradisional masyarakat Sunda adalah menyatu dengan alam. Alam merupakan sebuah potensi atau kekuatan yang mesti dihormati serta dimanfaatkan secara tepat di dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan rasa hormat tersebut tercermin pada sebutan bumi bagi alam yang menunjukan pula bahwa alam adalah tempat tinggal bagi masyarakat Sunda karena istilah bumi juga digunakan untuk menyebut secara halus rumah atau tempat tinggal orang Sunda. Kompleks bangunan Kampung Pulo (pulau) di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat, merupakan salah satu contoh kompleks arsitektur tradisional Sunda yang berpijak pada sebuah konsep menyatu dengan alam. Konsep tersebut disiratkan pada kepercayaan masyarakat setempat terhadap "agama" karuhun urang (nenek moyang kita) yaitu sebuah bentuk sinkretisme antara agama Hindu dan ajaran Islam.
Kepercayaan masyarakat terhadap lima pamali (lima larangan atau tabu) yang dua diantaranya melarang menambah jumlah bangunan serta memelihara binatang berkaki empat kecuali kucing ternyata sangat efektif didalam menjaga kelestarian kompleks dengan lingkungannya. Kompleks bangunan di Kampung Pulo terdiri dari enam rumah tinggal dan sebuah musala. Bentuk dan gaya arsitektur bangunan di Kampung Pulo merefleksikan konsep di atas yang tercermin dari cara penataan kompleks yang berpijak pada keselarasan dengan alamnya. Cara penataan bangunan kompleks yang melingkar membentuk huruf U atau disebut ngariung (berkumpul, menyatu) juga menunjukan sistem tatanan sosial atau kekerabatan yang erat antara para penghuninya. Menurut Mangunwijaya rumah yang kita bangun ialah rumah manusia. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang sebenarnya selalu dinapasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu dan cita-citanya.
Rumah adalah citra sang manusia pembangunnya (Mangunwijaya, 1995). Citra yang nampak di Kampung Pulo adalah pola hidup sederhana, praktis serta berusaha menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Hal ini diperlihatkan dengan bentuk bangunan yang sederhana. Sedangkan wujud interaksi dengan alam diperlihatkan pada konsep menempatkan bangunan-bangunan tersebut yang membujur dari timur ke barat dengan cara mengikuti pola peredaran Matahari. Tidak berusaha menentang sifat-sifat alam semesta. Dampaknya sinar tidak langsung menerpa ruangan didalamnya sehingga sirkulasi suhu dan cahaya di dalam ruangan berubah secara alamiah
“Suhunan jolopong” dan “julang ngapak”
Bentuk atap atau suhunan bangunan di Kampung Pulo terdiri dari lima buah bangunan menggunakan suhunan Panjang atau disebut juga suhunan Jolopong (membujur, tergolek lurus) dengan atap dari genting. Sedangkan satu lagi menggunakan bentuk suhunan Julang Ngapak (burung Julang sedang mengepakan sayap) dengan bahan ijuk. Bangunan yang disebutkan terakhir ini merupakan prototipe dari bangunan tradisional Sunda asli hasil renovasi oleh pihak pemerintah beberapa tahun yang lalu dan selanjutnya ditetapkan sebagai cagar budaya.
Bentuk suhunan Jolopong dianggap sebagai bentuk atap paling tua. Hal ini dikaitkan dengan bentuk atap bangunan saung (dangau) yang sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat tradisional. Bentuk atau gaya arsitektur bangunan tidak dapat dilepaskan dari kondisi atau status sosial penghuninya, seperti yang dinyatakan oleh Anthony King dalam bukunya Building and Society (1980) bahwa, "building result from social needs...Their size, appearance, location and form are governed not simply by physical factors (climate, materials or topography) but by a society's ideas, its forms of economic and social organization, its distribution of resources and authority, its activities, and the beliefs and values which prevail at any one period of time.
Bentuk suhunan Jolopong juga menyiratkan status sosial masyarakatnya yang berasal dari golongan bawah, sederhana, berpikiran praktis serta menggambarkan nilai-nilai yang dijunjungnya, antara lain membangun hubungan secara horizontal sesama manusia. Dalam ajaran Islam hubungan sesama manusia termasuk salah satu ajaran utamanya. Coba bandingkan dengan bentuk atap bangunan arsitektur modern yang bervariatif, kompleks, rumit dan sekaligus sebagai tanda atau "teks" yang dapat dibaca mengenai status sosial dan citra pemilik atau penghuninya
Bentuk suhunan Julang Ngapak memiliki empat bidang, dua diantaranya disusun seperti halnya suhunan Jolopong. Hanya pada suhunan Julang Ngapak terdapat atap tambahan di kedua sisinya - di depan dan di belakang - dengan kemiringan yang lebih landai yang disebut leang-leang. Pada suhunan Julang Ngapak atapnya menggunakan anyaman ijuk. Di kedua ujung atasnya diikat dengan teknik capit hurang (jepitan udang). Menurut arsitek Belanda Maclaine Pont, suhunan Julang Ngapak termasuk gaya arsitektur Sunda Besar yang bercirikan bentuk atap yang mencuat di kedua ujungnya dan adanya tameng-tameng yang menggantung di depannya (Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat,1982)
Sirkulasi udara yang menyehatkan
Seluruh bangunan di Kampung Pulo berdiri di atas batu penyangga atau disebut tatapakan (tempat bertumpu atau penyangga) yang diletakan pada setiap pojok serta bagian konstruksi yang menahan beban cukup besar. Dengan cara demikian posisi lantai tidak langsung bersentuhan dengan permukaan tanah sehingga udara lembab dari tanah maupun debu dapat dihindarkan. Bagian lantaiya dibuat dari palupuh yakni lembaran bambu hasil cercahan atau tumbukan yang menyatu saling mengikat. Hasil cercahan tersebut membentuk celah-celah memanjang tidak beraturan yang berfungsi sebagai ventilasi udara dari bawah serta dapat digunakan untuk membuang debu di atas lantai.
Sedangkan bagian dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang disebut bilik berfungsi sebagai penutup bangunan maupun penyekat ruangan. Bilik tersebut memiliki lubang-lubang kecil seperti "pori-pori" yang juga berfungsi sebagai ventilasi untuk menyalurkan udara maupun cahaya dari luar ruangan atau sebaliknya. Dengan demikian suhu di dalam ruangan selalu terjaga secara alami sesuai dengan kondisi cuaca alam di luar. Disamping itu pun tidak perlu mengandalkan cahaya yang masuk sepenuhnya melalui jendela. Sebenarnya pola bangunan dan penggunaan bahan-bahan alami merupakan hal yang lazim di kalangan masyarakat Sunda atau masyarakat tradisional lainnya. Hanya saja penggunaan pada bangunan-bangunan di Kampung Pulo lebih optimal dan tetap dilestarikan. Pada bangunan prototipe suhunan Julang Ngapak daun pintunya juga menggunakan anyaman bambu yang disebut sarigsig (anyaman) sedangkan bangunan lainnya sudah menggunakan daun pintu dari kayu. Keistimewaan dari teknik sarigsig tersebut bisa melihat dari dalam ke keluar tetapi yang dari luar tidak dapat menembus ke dalam. Udara segar dari luar pun masih bisa mengalir melalui celah-celah sarigsig tersebut.
Fungsi utama bangunan di Kampung Pulo adalah sebagai tempat tinggal dan aktivitas rumahtangga sehari-hari. Aktivitas lainnya seperti bekerja, bertani, memelihara binatang ternak atau berdagang dilakukan di luar pulo. Dengan demikian kapasitas ruang tetap terjaga utuh dan tidak terjadi pengembangan atau penambahan ruang yang dapat mengubah bentuk bangunan utamanya. Kebutuhan ruang ekstra acapkali mengubah struktur bangunan utama, baik dalam tatanan interior maupun eksterior misalnya dengan cara menambah bangunan tambahan lainnya. Penambahan atau perubahan fungsi bangunan tersebut tidak diperkenankan di Kampung Pulo. Kalaupun terjadi sebuah perubahan, terbatas untuk mengganti beberapa material bangunan yang sifatnya tidak dominan dan signifikan misalnya penggunaan cat, kaca atau genting. Tapi untuk prototipe bangunan adat material di atas samasekali tidak diperkenankan. Secara keseluruhan bangunan tempat tinggal di kompleks Kampung Pulo memiliki sirkulasi udara yang memadai baik siang maupun malam hari karena memanfaatkan bahan dan teknik yang berorientasi pada sifat-sifat alami. Sebuah konsep arsitektur bangunan tradisional yang "tertutup" sekaligus "terbuka"
Sejarah kampung pulo
Menurut keyakinan masyarakat setempat bahwa mereka merupakan keturunan dari Embah Dalem Arif Muhammad salah satu pemimpin pasukan Mataram yang diutus oleh Sultan Agung untuk menyerang Batavia pada abad ke-17. Ternyata penyerangannya mengalami kegagalan sehingga Embah Dalem Arif Muhammad tidak berani kembali ke Mataram dan untuk selanjutnya menetap dan menyebarkan agama Islam di daerah yang kini disebut Kampung Pulo. Menurut penuturan kuncen setempat Bapak Iri, Embah Dalem Arif Muhammad memiliki 6 orang anak perempuan dan 1 orang anak lelaki. Posisi tempat tinggal ke enam putrinya dibuat berjejer tiga saling berhadapan menghadap ke arah utara dan selatan. Pada bagian ujungnya, yaitu di bagian barat terletak sebuah musala kecil. Bangunan musala merupakan perlambangan bagi anak lelaki satu-satunya yang meninggal saat masih kecil sewaktu akan dikhitan. Penempatan musala di bagian hulu kompleks juga melambangkan lelaki sebagai kepala keluarga.
Jumlah bangunan tersebut hingga kini terus dipertahankan. Setiap anak yang sudah berkeluarga tidak diperkenankan lagi tinggal bersama orangtuanya dan wajib keluar kampung dengan diberi tenggang waktu selama dua minggu untuk mempersiapkan kepindahan ke luar pulo tersebut. Namun anak yang sudah menikah tersebut dapat tinggal di rumah orangtua mereka jika orangtuanya meninggal dunia. Proses pergantian tersebut disebut ngaplus (menggantikan). Dengan cara ngaplus maka jumlah anggota keluarga dan bangunan tetap tidak berubah.
Salah satu pamali yang lain adalah larangan untuk memelihara binatang besar berkaki empat. Ternyata larangan tersebut berdampak positif bagi kelestarian lingkungan di Kampung Pulo yang luasnya hanya sekira 0,5 ha. Jika diperkenankan memelihara binatang besar dapat mengurangi kapasitas lahan yang tersedia karena binatang tersebut memerlukan lahan atau tempat tersendiri termasuk untuk persediaan pakannya. Bahkan bila populasinya meningkat diperlukan tempat yang lebih luas lagi. Selama ini binatang peliharaannya disimpan di luar pulo.
Sistem waris yang berlaku di Kampung Pulo berbeda dengan masyarakat Sunda atau Islam pada umumnya. Di kalangan masyarakat Kampung Pulo yang mempunyai hak waris rumah adat adalah pihak anak perempuan tertua, sedangkan tanggungjawab keluarga dipegang oleh suaminya. Seperti hal nya Bapak Iri yang diberikan wewenang sebagai kuncen karena merupakan suami dari anak perempuan tertua di Kampung Pulo yang memegang hak waris.
Lokasi Kampung Pulo
Dari arah kota Bandung lokasi Kampung Pulo 1 50 km dan sebelum kota Garut yang ditempuh sekira 1 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Kampung Pulo memiliki luas 1 0,5 ha dan terletak ditengah sebuah situ (danau) yang disebut situ Cangkuang. Sedangkan luas dari situ Cangkuang sendiri adalah 2,5 ha. Namun kini luas situ Cangkuang semakin menyusut akibat pendangkalan dibeberapa bagian.
Untuk mencapai Kampung Pulo dapat dilalui dengan menggunakan rakit bambu sewaan maupun melalui jalan setapak. Jalan yang disebutkan terakhir terjadi karena adanya pendangkalan pada salah satu bagian danau sehingga Kampung Pulo kini tidak sepenuhnya berada di tengah situ Cangkuang. Di Kampung Pulo selain terdapat kompleks hunian terdapat pula makam keramat Embah Dalem Arif Muhammad dan sebuah candi Hindu yang diperkirakan hasil peninggalan abad ke VII Masehi. Candi Cangkuang kini termasuk salah satu objek wisata di daerah Kabupaten Garut.

(Sumber : http://situseni.com/jejak/wikiseni/107-kampung-pulo-wujud-arsitektur-tradisional-sunda)

sejarah rumah adat aceh

1.Asal-Usul

Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur. 
Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Keberadaan Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi bencana alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.

2. Bahan-Bahan

Untuk membuat Rumoh Aceh, bahan-bahan yang diperlukan di antaranya adalah:
  • Kayu. Kayu merupakan bahan utama untuk membuat Rumoh Aceh. Kayu digunakan untuk membuat tameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng, dan lain sebagainya.
  • Papan, digunakan untuk membuat lantai dan dinding.
  • Trieng (bambu). Bambu digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lain sebagainya.
  • Enau (temor). Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
  • Taloe meu-ikat (tali pengikat). Tali pengikat biasanya dibuat dari tali ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik.
  • Oen meuria (daun rumbia), digunakan untuk membuat atap.
  • Daun enau. Selain mengunakan oen meuria, terkadang untuk membuat atap menggunakan daun enau.
  • Peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Bahan ini digunakan untuk membuat dinding rumah, rak-rak, dan sanding.
3. Tahapan Pembangunan Rumah Rakit

Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya. Oleh karena proses pembuatan Rumoh Aceh dilakukan secara cermat dengan berlandaskan kepada pengetahuan lokal masyarakat, maka Rumoh Aceh walaupun terbuat dari kayu mampu bertahan hingga ratusan tahun lamanya.
Adapun tahapan-tahapan pembangunan Rumoh Aceh adalah: (1) musyawarah, (2) pengumpulan bahan, (3) pengolahan bahan, dan (4) perangkaian bahan. Tahapan paling awal untuk mendirikan Rumoh Aceh adalah melakukan musyawarah keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan memberiatahukan rencana pendirian rumah tersebut kepada Teungku. Tujuannya adalah untuk mendapatkan saran-saran tentang apa yang harus dilakukan agar rumah yang dibangun dapat memberikan ketenangan, ketenteraman, dan sejahtera baik lahir maupun batin kepada penghuninya.
Setelah mendapatkan saran-saran dari Teungku, dilanjutkan dengan pengadaan bahan. Pengadaan bahan-bahan dilakukan secara gotong royong. Kayu yang baik adalah kayu yang tidak dililiti akar dan apabila kayu ditebang, rebahnya tidak menyangkut kayu yang lain. Kayu-kayu tersebut kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terlindung dari hujan. Jika waktu pembangunan masih lama, adakalanya bahan-bahan tersebut direndam terlebih dahulu di dalam air, tujuannya agar kayu-kayu tersebut tidak dimakan babuk.
Tahap berikutnya adalah mengolah kayu sesuai dengan kegunaannya masing-masing. Setelah semuanya siap, maka dimulailah pendirian Rumoh Aceh. Pendirian awal Rumoh Aceh ditandai dengan pembuatan landasan untuk memancangkan kayu. Kayu yang pertama dipancangkan adalah tiang utama (tiang raja) dan dilanjutkan dengan tiang-tiang yang lain. Setelah semua tiang terpancang, dilanjutkan dengan pembuatan bagian tengah rumah, yang meliputi lantai rumah dan dinding rumah. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bagian atas rumah yang diakhiri dengan pemasangan atap. Bagian terakhir pembangunan Rumah Aceh adalah finishing, yaitu pemasangan ornamen pendukung seperti ragam hias dan sebagainya.

4. Bagian-Bagian Rumoh Aceh
a. Bagian bawah
Bagian bawah Rumoh Aceh atau yup moh merupakan ruang antara tanah dengan lantai rumah. Bagian ini berfungsi untuk tempat bermain anak-anak, kandang ayam, kambing, dan itik. Tempat ini juga sering digunakan kaum perempuan untuk berjualan dan membuat kain songket Aceh.
Tempat ini juga digunakan untuk menyimpan jeungki atau penumbuk padi dan krongs atau tempat menyimpan padi berbentuk bulat dengan diameter dan ketinggian sekitar dua meter.
b. Bagian tengah
Bagian tengah Rumoh Aceh merupakan tempat segala aktivitas masyarakat Aceh baik yang bersifat privat ataupun bersifat public. Pada bagian ini, secara umum terdapat tiga ruangan, yaitu: ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang.
* Ruang depan (seuramo reungeun). Ruangan ini disebut juga Seuramou-keu (serambi depan). Disebut ruang atau serambi depan karena di sini terdapat bungeun atau tangga untuk masuk ke rumah. Ruangan ini tidak berkamar-kamar dan pintu masuk biasanya terdapat di ujung lantai di sebelah kanan. Tapi ada pula yang membuat pintu menghadap ke halaman, dan tangganya di pinggir lantai. Dalam kehidupan sehari-hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki, dan tempat anak-anak belajar mengaji. Pada saat-saat tertentu misalnya pada waktu ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan ini dipergunakan untuk makan bersama.
* Ruangan tengah. Ruangan ini merupakan inti dari Rumoh Aceh, oleh karenanya disebut Rumoh Inong (rumah induk). Lantai pada bagian ini lebih tinggi dari ruangan lainnya, dianggap suci, dan sifatnya sangat pribadi. Di ruangan ini terdapat dua buah bilik atau kamar tidur yang terletak di kanan-kiri dan biasanya menghadap utara atau selatan dengan pintu menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik tersebut terdapat gang (rambat) yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang.
Fungsi Rumoh Inong adalah untuk tidur kepala keluarga, dan Anjong untuk tempat tidur anak gadis. Bila anak perempuannya kawin, maka dia akan menempati Rumah Inong sedang orang tuanya pindah ke Anjong. Bila anak perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke serambi atau seuramo likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau menambah/memperlebar rumahnya. Di saat ada acara perkawinan, mempelai dipersandingkan di Rumoh Inong, begitu pula bila ada kematian Rumoh Inong dipergunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
* Ruang belakang disebut seuramo likot. Lantai seuramo likot tingginya sama dengan seuramo rengeun (serambi depan), dan ruangan ini pun tak berbilik. Fungsi ruangan ini sebagian dipergunakan untuk dapur dan tempat makan,dan biasanya terletak di bagian timur ruangan. Selain itu juga dipergunakan untuk tempat berbincang-bincang bagi para wanita serta melakukan kegiatan sehari-hari seperti menenun dan menyulam.
Namun, adakalanya dapur dipisah dan berada di bagian belakang serambi belakang. Ruangan ini disebut Rumoh dapu (dapur). Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.
c. Bagian atas
Bagian ini terletak di bagian atas serambi tengah. Adakalanya, pada bagian ini diberi para (loteng) yang berfungsi untuk menyimpan barang-barang keluarga. Atap Rumoh Aceh biasanya terbuat dari daun rumbia yang diikat dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil.

5. Ragam Hias
Dalam Rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu: (1) motif keagamaan. Hiasan Rumoh Aceh yang bercorak keagamaan merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran; (2) motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah; (3) motif fauna. Motif binatang yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; (4) motif alam. Motif alam yang digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan (5) motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.

6. Nilai-Nilai

Wujud dari arsitektur Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keselamatan warga gampong (kampung). Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong.
Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang menghadap ke utara dan selatan sehingga rumah membujur dari timur ke barat. Walaupun dalam perkembangannya dianggap sebagai upaya masyarakat Aceh membuat garis imajiner antara rumah dan Ka‘bah (motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Jika arah Rumoh Aceh menghadap ke arah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk ke kamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil, dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk Rumoh Aceh.
Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani.
Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti Rumoh Inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki Rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke bangunan rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka ”pantang dan tabu” bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.
Pintu utama rumah yang tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa, sekitar 120-150 cm, sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk, mengandung pesan bahwa setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh, tidak peduli betapa tinggi derajat atau kedudukannya, harus menunduk sebagai tanda hormat kepada yang punya rumah. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas lantai. Ada juga yang menganggap bahwa pintu Rumoh Aceh diibaratkan hati orang Aceh. Memang sulit untuk memasukinya, tetapi begitu kita masuk akan diterima dengan lapang dada dan hangat.
Pelaksanaan upacara baik ketika hendak mendirikan rumah, sedang mendirikan, dan setelah mendirikan rumah bukan untuk memamerkan kekayaan tetapi merupakan ungkapan saling menghormati sesama makhluk Tuhan, dan juga sebagai bentuk ungkapan syukur atas rizqi yang telah diberikan oleh Tuhan.
Dengan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Rumoh Aceh, maka kita akan mampu memahami dan menghargai beragam khazanah yang terkandung di dalamnya. Bisa saja, karena perubahan zaman, arsitektur Rumoh Aceh berubah, tetapi dengan memahami dan memberikan pemaknaan baru terhadap simbol-simbol yang digunakan, maka nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh para pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya. 

(Sumber : http://niynabubu.blogspot.com/2009/11/sejarah-rumah-adat-aceh.html)