Kamis, 05 Mei 2011

Arsitektur Tradisional, Warisan Budaya Lokal Sulsel

Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.
MASYARAKAT tradisional Indonesia pada umumnya percaya akan adanya suatu tatanan, aturan tetap, yang mengatur segala apa yang terjadi di alam dunia yang dilakukan oleh manusia. Tatanan atau aturan itu bersifat stabil, selaras, dan keka. Aturan itu merupakan tatanan budaya sebagai sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Apapun yang dilakukan manusia harus sesuai atau selaras dalam tatanan kehidupan alam sekitarnya. Apabila tidak bertentangan dengan alam, niscaya hidupnya akan tenang dan damai. Yang menyimpang dari tatanan dan aturan merupakan "dosa" yang patut menerima sanksi atau hukuman.
Masa itu perbuatan manusia selalu berdimensi dua, dwimatra; yaitu mistik dan simbolik. Untuk megungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai tanda-tanda atau simbolik, dua macam tanda penting, pertama: Mitos asal, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua: Ritual upacara berupa perlakuan simbolis yang berfungsi untuk memulihkan harmoni tatanan alam dengan manusia, agar manusia terhindar dari malapetaka dan memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Inilah dasar-dasar filosofi yang mengatur budaya masyarakat tradisional.
Pola pemikiran masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam budaya kosmologi. Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas pada kehidupan dirinya sendiri, egocentrum. Kemudian manusia mengembangkan dorongan naluri dan nalarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kehidupan egocentrum akan menjadi bagian integral dari kehidupan habitat sekitarnya, yang diatur dalam sebuah tatanan budaya atau kebudayaan.
Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan leluhur yang di pengaruhi oleh ethos budaya dan mempunyai sifat-sifat khusus, antara lain kekhususan itu ditandai dengan cara mempertahankan suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan habitat sekitarnya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, pola hubungan antar manusia. Hubungan manusia dengan habitat sekitarnya didasarkan pada anggapan bahwa eksistensinya hidup dalam kosmos alam raya dipandang sebagai suatu tatanan yang teratur dan tersusun secara hirarkis dalam sebuah tatanan budaya yang terjaga.
Ketika kita bicara tentang kebudayaan, maka arsitektur adalah salah satu hasil karya seni budaya bangsa. Keterkaitan hubungan antara kebudayaan dan arsitektur tergambar pada telahan masing -masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya berpijak pada unsur-unsur konsep, cara membangun dan wujud nyata dari bangunan sebagai lingkungan buatan dalam lingkungan sekitarnya. Telaahan kebudayaan selalu berpijak pada unsur-unsur buah pikiran ide, perbuatan, sikap dan prilaku behavior serta hasil karya seni artefak. Arsitektur sebagai hasil karya seni budaya diakui sebagai salah satu wujud kebudayaan yang menjadi bayangan cerminan dari kehidupan manusianya, dari masa ke masa.
Arsitektur sebagai unsur kebudayaan merupakan salah satu bentuk bahasa nonverbal manusia, alat komunikasi manusia nonverbal ini mempunyai nuansa sastrawi dan tidak jauh berbeda dengan sastra verbal. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana keindahan, sebab dari sanalah akan muncul karakteristiknya. Dalam naskah kuno sastra jawa dan kitab lontara Bugis Makassar dapat ditemukan hubungan relevansi antara lingkungan kehidupan budaya manusia dengan rumah adat yang diciptakannya.
Dalam masyarakat tradisional Sulawesi Selatan, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat dilakukan menurut adat istiadat, dengan demikian adat menjadi semacam pedoman dalam bertindak yang menguasai pola kehidupan masyarakat, baik dalam tingkah laku, maupun dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya.
Tata cara pembuatan rumah dalam konsep arsitektur tradisional biasanya merujuk pesan, wasiat yang bersumber dari kepercayaan yang dianut, mulai dari pemilihan tempat, bentuk arsitekturnya, upacara ritual ketika membangun, sampai pada penentuan arah perletakan rumah.
Secara konsepsual arsitektur, masyarakat tradisional Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar) berangkat dari suatu pandangan hidup ontologis, memahami alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut sulapa appa, menunjukkan upaya untuk menyempurnakan diri, filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk segi empat, yang merupakan mitos asal kejadian manusia yang terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air, api, dan angin.
Bagi masyarakat tradisional Bugis Makassar yang berpikir secara fotolitas, rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh: Struktur kosmos, di mana alam terbagi atas tiga bagian yaitu alam atas sebagai tempat suci, alam tengah, sebagai tempat berlangsungnya kehidupan manusia, dan alam bawah, tempat terjadinya interaksi dengan lingkungan sekitar dan makhluk hidup lainnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam prosesi mendirikan rumah antara lain: meminta pertimbangan dari panrita bola untuk mencari tempat dan arah yang dianggap baik. Beberapa wasiat dalam hal menentukan arah rumah yaitu: sebaiknya menghadap kearah terbitnya matahari, menghadap kedataran tinggi, dan menghadap ke salah satu arah mata angin.
Selain itu salah satu faktor pertimbangan lain yang perlu diperhitungkan adalah pemilihan waktu untuk mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang baik biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu.
Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh upacara ritual, yang pada tahap selanjutnya secara berurutan mulai mendirikan rumah dengan mengerjakan tiang pusat rumah (posi'bola) terlebih dahulu, menyusul tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan secara keseluruhan selesai dikerjakan.
Seperti kebanyakan rumah tradisional di Indonesia, rumah Bugis Makassar juga dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya. Rumah tradisional Bugis Makassar pada dasarnya terdiri dari beberapa macam yaitu:
1. Rumah Kaum Bangsawan Arung atau Karaeng. Untuk rumah bangsawan yang memegang jabatan, pada puncak rumah induk terdiri dari tiga atau lebih sambulayang /timpalaja. Jumlah tiang ke samping dan ke belakang 5 - 6 buah, sedang untuk bangsawan biasa jumlah tiang ke samping dan ke belakang 4 -5 tiang. 2. Rumah Orang Kebanyakan Tosama, terdiri dari 4 buah tiang kesamping dan kebelakang, puncak sambulayang/timpalaja hanya dua susun. 3. Rumah Hamba Sahaja Ata atau Suro, bentuk dengan ukuran yang lebih kecil, biasanya hanya tiga petak, dengan sambulayang/timpalaja yang polos. Pada umumnya rumah tradisional Bugis Makassar berbentuk panggung dengan penyangga dari tiang yang secara vertikal terdiri atas tiga bagian yaitu: Rakkeang/Pammakkang, terletak pada bagian atas, di sini melekat plafond tempat atap menaungi, penyimpanan padi sebagai lambang kehidupan dan tempat atribut adat disimpan.
Ale bola/kale balla, terletak pada bagian tengah, di mana sebuah tiang ditonjolkan di antara tiang tiang lainnya, yang terbagi atas beberapa petak dengan fungsinya masing-masing. Awaso/siring, terletak pada bagian bawah, sebagai tempat penyimpanan alat cocok tanam, ternak, alat bertukang dan lain lain. Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga bagian yaitu: Lontang ri saliweng/padaserang dallekang, letaknya di ruang bahagian depan. Lontang ri tengnga/padaserang tangnga, terletak di ruang bahagian tengah. Lontang ri laleng /padaserang riboko, terletak di ruang bahagian belakang.
Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan di bagian belakang annasuang atau appalluang, dan ruang samping yang memanjang pada bagian samping yang disebut tamping, serta ruang kecil di depan rumah yang disebut lego-lego atau paladang.
Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.
Ornamen corak tumbuhan, umumnya bermotifkan bunga/kembang, daun yang memiliki arti rejeki yang tidak putus putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, di samping motif yang lainnya. Ornamen corak binatang, umumnya bentuk yang sering ditemukan adalah: kepala kerbau yang disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial. Bentuk naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah lembut, kekuatan yang dahsyat. Bentuk ayam jantan yang diartikan sebagai keuletan dan keberanian, agar kehidupan dalam rumah senantiasa dalam keadaan baik dan membawa keberuntungan.
Ornamen corak alam, umumnya bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan Islam. Penempatan ragam hias ornamen tersebut pada sambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan lain-lain. Penggunaan ragam hias ornamen tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya tinggi.
Masyarakat tradisional Tana Toraja di dalam membangun rumah tradisionalnya mengacu pada kearifan budaya lokal (kosmologi) yaitu: Konsep pusar atau pusat rumah sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme. Dalam perspektif kosmologi, rumah merupakan mikrokosmos, bagian dari lingkungan makrokosmos. Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi ruang tengah rumah dan atap menyatu dengan father sky. Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a'riri possi di Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar dan tiang menyatu dengan mother earth.
Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal filosofi Aluk A'pa Oto'na yaitu empat dasar pandangan hidup: Kehidupan manusia, kehidupan alam leluhur Todolo, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang melambangkan badan atau kekuasaan. Dalam kehidupan masyarakat toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri, egocentrum. Hal ini yang tercermin pada konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan bukaan yang sempit.
Selain itu konsep arsitektur tradisional Toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya simuane tallang atau filosofi harmonisasi dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur tongkonan yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen tongkonan seperti: rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, di dalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang Toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional Toraja, dimana rumah dianggap sebagai mikro kosmos.
Tata letak rumah tongkonan berorientasi utara-selatan, bagian depan rumah harus berorientasi utara atau arah Puang Matua Ulunna langi dan bagian belakang rumah ke selatan atau arah tempat roh-roh Pollo'na Langi. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti kehidupan dan pemeliharaan, pada arah timur di mana para dea "dewata" memelihara dunia beserta isinya ciptaan Puang Mutua untuk memberi kehidupan bagi manusia, dan arah barat adalah tempat bersemayam To Membali Puang atau tempat para leluhur todolo. Atau selalu ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kesemuanya ini diterjemahkan menjadi satu kata sederhana yaitu keseimbangan dan secara arsitektural keseimbangan selalu diaplikasikan ke dalam bentuk simetris pada bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa prinsip dasar arsitektur tradisional Toraja adalah simetris, keterikatan, dan berorientasi.
Tongkonan.
Tongkonan, rumah adat Toraja adalah bangunan yang sangat besar artinya, karena peranannya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan dalam fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu: Tongkonan layuk, kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat. Tongkonan pokamberan/pokaindoran, yaitu rumah adat yang merupakan tempat melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah. Tongkonan batu a'riri, yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi sebagai tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu, serta tempat pembinaan warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga.
Tongkonan Pa'rapuan, fungsinya sama dengan tongkonan batu a'riri tetapi semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi tertentu, fungsi fungsi tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari bangunan itu tidak berubah yaitu atap menghadap keutara sebagai orientasi bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi dan arsitektur bangunan tetap sebagai dasar perancangan tongkonan, karena adanya hubungan pandangan keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan.
Bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan struktur arsitekturnya antara lain, rumah adat Toraja dibagi atas dua bagian besar yaitu dengan menarik garis besar dari utara ke selatan yang dibedakan dengan nama Kale banua matallo dan Kale banua matumpu' yaitu bagian rumah sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat. Perkembangan arsitektur tradisional dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: waktu, pengaruh budaya luar, pola hidup, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dari masa lampau hingga masa kini ada empat masa perkembangannya yang dapat ditelusuri yaitu: Masa arsitektur tradisional, masa arsitektur klassik, masa arsitektur modern, serta masa arsitektur post modern. Masa arsitektur tradisional: pada masa ini budaya asli dan pola hidup masyarakat tradisional berkembang didalam masyarakat tanpa ada pengaruh luar, Arsitektur Tradisional merupakan pilihan satu satunya. Secara tradisi, bangunan hanya berfungsi sebagai rumah tinggal ataupun sebagai tempat bermukim keluarga.
Arsitektur tradisional sangat dipengaruhi oleh keadaan dan potensi alam sekitarnya yang menjadi motif utama pemberi corak arsitektur tradisional. Terutama pengaruh iklim, curah hujan, tumbuh-tumbuhan yang dipakai sebagai bahan bangunan dan batu batuan. Arsitektur tradisional Toraja misalnya, mempunyai sudut kemiringan atap yang tajam karena curah hujan besar. Bambu dipakai sebagai atap dan plafound karena hutan bambu banyak di Tana Toraja, begitupun halnya bahan kayu yang dipakai sebagai tiang dan dinding. Perihal ragam hias ornamen yang didapati banyak memberi warna arsitektur tradisional Sulawesi Selatan, dipakai menghiasi dinding dan tiang sesuai tradisi masing masing etnis. Ornamen dipakai sebagai ungkapan arti simbol simbol suatu benda yang dianggap mempunyai arti dalam penghidupan dan kehidupan masyarakat tradisional etnis bersangkutan.
Gaya arsitektur tradisional yang beranekaragam di Indonesia diperkirakan akan menjadi sumber inspirasi utama dalam gaya post-modern ini. Beberapa arsitektur modern masa kini dirancang dan dibangun dengan mengawinkannya dengan unsur-unsur arsitektur tradisional, tetapi terkadang unsur tradisional itu sendiri, manjadi rancu akibat dari perbedaan prinsip dasar, filosofi, konsep, aktifitas, bentuk, dan bahan bangunan. Masalah lain akan timbul bila dua macam atau lebih arsitektur tradisional yang berbeda disatukan di dalam satu gubahan arsitektur, seperti Toraja dengan Bugis, Toraja dengan Bali, Toraja dengan Jawa, dan kombinasi lainnya. Meskipun demikian arsitektur tradisional masih memiliki dan menampilkan persamaan yaitu: unsur vertikal dan horisontal. Bahkan kedua unsur ini dpat ditemukan pada seluruh arsitektur tradisional di Indonesia.

(Sumber : http://dualembang.multiply.com/journal/item/28)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar