Kamis, 05 Mei 2011

Kepercayaan dan Arsitektur

Sebagai subyek utama arsitektur, manusia memiliki pengaruh terbesar yang membentuk arsitektur itu sendiri. Dalam konteks arsitektur vernakular di Indonesia, keyakinan manusia atau mitologi (yang biasanya dilambangkan dengan binatang) adalah topik lain yang saat ini terbentuk arsitektur tersebut juga.
Seperti yang bisa kita pelajari dari arsitektur vernakular dalam beberapa etnis di Indonesia (Batak, Sumba, Melayu), mitos membentuk arsitektur, seperti manusia membentuk arsitektur itu sendiri. Kita tahu bahwa kepercayaan manusia membentuk mitologi, mitologi membentuk budaya, dan budaya yang membentuk arsitektur.
Rapoport mengatakan, membangun rumah adalah fenomena budaya, sehingga bentuk dan organisasi sangat dipengaruhi oleh orang-aspek budaya di mana latar belakang itu (Rapoport, 1969). selain itu, bangunan tradisional adalah manifestasi dari aspek ritual, budaya, sosial, dan material, teknik dan keahlian sehingga manifestasinya sangat kompleks (Frick 1988).
Hewan adalah salah satu subjek yang seringkali merupakan perwujudan atau menggambarkan mitologi itu sendiri.
Dalam konteks arsitektur vernakular di Indonesia, hewan memiliki fungsi atau makna, yaitu sebagai simbol yang merepresentasikan arsitektur itu sendiri dan sebagai makhluk hidup yang ikut mempengaruhih penciptaan ruang dalam arsitektur tersebut.
Definisi simbolisme itu sendiri, disampaikan oleh AN Whitehead dalam “Symbolism” bukunya, sebagai berikut “pikiran manusia memiliki fungsi simbolis, beberapa komponen pengalamannya, untuk menginspirasi kesadaran, keyakinan, perasaan, dan deskripsi komponen lainnya dari pengalaman. Perangkat adalah simbol dari komponen-komponen awal dan perangkat yang membentuk komponen berikutnya / memberikan makna simbol fungsi organik, yang menyebabkan transisi dari simbol untuk makna dinyatakan sebagai referensi “. Makna adalah pesan yang akan disampaikan di masing-masing simbol, sehingga ada unsur persepsi manusia terhadap sesuatu yang tidak objek atau benda.
Jadi, sejauh mana hewan(mitos/keyakinan manusia) mempengaruhi arsitektur vernakular di Indonesia? Sebagai simbol yang  merepresentasikan arsitektur itu sendiri? Atau sebagai makhluk hidup yang mengambil bagian dalam mengembangkan ruang dalam arsitektur tersebut? Mari kita lihat dalam studi kasus di bawah ini.

Wajo, Sumba

Dalam hirarki, dalam pola desa Wajo, rumah tradisional So’o Pilei dan Peo (digunakan untuk upacara ritual) terletak pada kontur tertinggi. Hal ini dipengaruhi oleh filsafat masyarakat Wajo sendiri, ‘kepala bersandar di atas gunung’ yang (bagian Utara), ‘kaki bersandar pada laut’ (bagian Selatan). “Udu mbeli kedi-ai ndeli Mesi”, yang menggambarkan situasi arsitektur dan pola desa sebagai ular yang dilindungi desa Wajo. Hal ini membuktikan bahwa mitos-kepercayaan masyarakat Wajo tradisional menjadi arah dan orientasi dalam arsitektur mereka.
Selain ular yang membentuk pola desa, babi juga terlibat dalam upacara tradisional dalam membangun rumah Sa’o Pile. Ini hewan yang digunakan untuk mencuci (darahnya) kayu atau rumput yang masih di hutan, sebelum digunakan untuk membangun rumah. Hal ini terjadi untuk meminta izin kepada penjaga dari sang pohon.

Waikabubak, Sumba

“Semua hal-hal yang mistis-magis dan mengandung kepercayaan tradisi manusia masih dipercaya oleh lebih dari 300 orang di desa itu. Dan desa yang terbentuk dari keyakinan nenek moyang “. (Kompas, Kornelis Kewa Ama)
Seperti yang bisa kita lihat dalam gambar, ada banyak rahang babi dan tanduk kerbau di dinding luar rumah. Setiap upacara ritual atau tradisional telah diadakan, akan selalu mengorbankan binatang (biasanya seekor babi atau kerbau) ke Marapu (leluhur). Mereka babi-rahang dan kerbau-tanduk juga menggambarkan tingkat sosial masyarakat, rahang dan tanduk yang lebih, berarti lebih tinggi dalam tingkat sosial masyarakat.

Batak

Rumah Tradisional Batak Toba disebut Rumah Bolon. Ciri yang khas dari Rumah tradisional Batak Toba adalah bentuk atap melengkung dan di tepi depan atap sipasang sebuah tanduk kerbau, sehingga rumah tradisional tersebut menyerupai kerbau. Punggung kerbau adalah atap melengkung, kaki-kaki kerbau adalah tiang-tiang di bawah rumah.
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, sapi, dll tengah adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas tempat penyimpanan benda-benda suci (homitan ugasan).
Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Rumah Batak) pada tahun 1920 bernama DWN De Boer, dalam bukunya Het Huis Batak Toba,
“Atap rumah Batak Toba berbentuk seperti punggung kerbau dan atap pelana dengan ujung runcing dan biasanya ditempatkan tanduk kerbau sehingga rumah mirip dengan kerbau”.
Pintu bawah rumah digunakan untuk jalannya kerbau supaya bisa masuk ke kandang(bagian bawah rumah). Dalam hal fungsi, orang Batak suka menaikkan lantai untuk mengaktifkan ruang di bawah ini sebagai Kandang Ternak. Dengan sistem seperti ini, di Bolon, suhu ruangan menjadi stabil, di malam hari akan terasa hangat karena panas suhu tubuh ternak, dan pada siang hari akan terasa sejuk karena banyak bukaan di dinding.
Memang benar bahwa manusia adalah subyek utama dari arsitektur. Namun, dalam konteks arsitektur vernakular, manusia di sini bukan berarti manusia sebagai tubuh yang perlu ruang, tapi lebih kepada kepercayaan manusia yang membentuk budaya/adat istiadat/kepercayaan yang pada akhirnya membentuk arsitektur. Seperti yang bisa kita lihat dalam pola desa Wajo yang terbentuk oleh mitos-ular (yang menjaga desa)
Sebagai simbol, hewan merepresentasikan kepercayaan mitos-budaya yang membentuk arsitektur itu sendiri. Rumah di Waikabubak misalnya, rahang dan tanduk di dinding rumah yang merepresentasikan tingkat strata sosial pemilik di masyarakat.
Sebagai makhluk hidup, hewan juga berpengaruh dalam mengembangkan ruang dalam arsitektur. Di rumah tradisional Batak Toba misalnya, terdapat  ruang di bawah rumah yang digunakan binatang (Ternak) untuk hidup.

( Sumber : http://everydayarchitecture.wordpress.com/author/buyunganggi/ )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar