Kamis, 05 Mei 2011

Kampung Pulo Wujud Arsitektur Tradisional Sunda

PADA umumnya konsep arsitektur tradisional menempatkan unsur alam sebagai konsep dasar rancangannya. Sebaliknya di dalam arsitektur modern aspek manusia berdiri sebagai pusat segalanya atau sebagai titik sentral. Dalam pikiran mitologis atau mitis manusia masih menghayati diri tenggelam bersama seluruh alam dan dunia gaib (Mangunwijaya, 1995).
Sebagian besar konsep dasar bangunan arsitektur tradisional bersumber dari alam (kosmos) yang digambarkan melalui mitos-mitos, kepercayaan atau agama. Refleksi kekuatan di luar manusia tersebut acapkali diwujudkan dalam berbagai hal, misalnya dalam wujud bangunan, penataan kawasan maupun penggunaan elemen dekorasi.
Berdasarkan pengamatan selama ini bentuk atau gaya arsitektur bangunan di beberapa suku tiada lain sebagai refleksi terhadap fenomena alam ketimbang aspek fungsional.
Konsep arsitektur tradisional Sunda menyatu dengan alam
Secara umum konsep dasar rancangan arsitektur tradisional masyarakat Sunda adalah menyatu dengan alam. Alam merupakan sebuah potensi atau kekuatan yang mesti dihormati serta dimanfaatkan secara tepat di dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan rasa hormat tersebut tercermin pada sebutan bumi bagi alam yang menunjukan pula bahwa alam adalah tempat tinggal bagi masyarakat Sunda karena istilah bumi juga digunakan untuk menyebut secara halus rumah atau tempat tinggal orang Sunda. Kompleks bangunan Kampung Pulo (pulau) di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat, merupakan salah satu contoh kompleks arsitektur tradisional Sunda yang berpijak pada sebuah konsep menyatu dengan alam. Konsep tersebut disiratkan pada kepercayaan masyarakat setempat terhadap "agama" karuhun urang (nenek moyang kita) yaitu sebuah bentuk sinkretisme antara agama Hindu dan ajaran Islam.
Kepercayaan masyarakat terhadap lima pamali (lima larangan atau tabu) yang dua diantaranya melarang menambah jumlah bangunan serta memelihara binatang berkaki empat kecuali kucing ternyata sangat efektif didalam menjaga kelestarian kompleks dengan lingkungannya. Kompleks bangunan di Kampung Pulo terdiri dari enam rumah tinggal dan sebuah musala. Bentuk dan gaya arsitektur bangunan di Kampung Pulo merefleksikan konsep di atas yang tercermin dari cara penataan kompleks yang berpijak pada keselarasan dengan alamnya. Cara penataan bangunan kompleks yang melingkar membentuk huruf U atau disebut ngariung (berkumpul, menyatu) juga menunjukan sistem tatanan sosial atau kekerabatan yang erat antara para penghuninya. Menurut Mangunwijaya rumah yang kita bangun ialah rumah manusia. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang sebenarnya selalu dinapasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu dan cita-citanya.
Rumah adalah citra sang manusia pembangunnya (Mangunwijaya, 1995). Citra yang nampak di Kampung Pulo adalah pola hidup sederhana, praktis serta berusaha menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Hal ini diperlihatkan dengan bentuk bangunan yang sederhana. Sedangkan wujud interaksi dengan alam diperlihatkan pada konsep menempatkan bangunan-bangunan tersebut yang membujur dari timur ke barat dengan cara mengikuti pola peredaran Matahari. Tidak berusaha menentang sifat-sifat alam semesta. Dampaknya sinar tidak langsung menerpa ruangan didalamnya sehingga sirkulasi suhu dan cahaya di dalam ruangan berubah secara alamiah
“Suhunan jolopong” dan “julang ngapak”
Bentuk atap atau suhunan bangunan di Kampung Pulo terdiri dari lima buah bangunan menggunakan suhunan Panjang atau disebut juga suhunan Jolopong (membujur, tergolek lurus) dengan atap dari genting. Sedangkan satu lagi menggunakan bentuk suhunan Julang Ngapak (burung Julang sedang mengepakan sayap) dengan bahan ijuk. Bangunan yang disebutkan terakhir ini merupakan prototipe dari bangunan tradisional Sunda asli hasil renovasi oleh pihak pemerintah beberapa tahun yang lalu dan selanjutnya ditetapkan sebagai cagar budaya.
Bentuk suhunan Jolopong dianggap sebagai bentuk atap paling tua. Hal ini dikaitkan dengan bentuk atap bangunan saung (dangau) yang sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat tradisional. Bentuk atau gaya arsitektur bangunan tidak dapat dilepaskan dari kondisi atau status sosial penghuninya, seperti yang dinyatakan oleh Anthony King dalam bukunya Building and Society (1980) bahwa, "building result from social needs...Their size, appearance, location and form are governed not simply by physical factors (climate, materials or topography) but by a society's ideas, its forms of economic and social organization, its distribution of resources and authority, its activities, and the beliefs and values which prevail at any one period of time.
Bentuk suhunan Jolopong juga menyiratkan status sosial masyarakatnya yang berasal dari golongan bawah, sederhana, berpikiran praktis serta menggambarkan nilai-nilai yang dijunjungnya, antara lain membangun hubungan secara horizontal sesama manusia. Dalam ajaran Islam hubungan sesama manusia termasuk salah satu ajaran utamanya. Coba bandingkan dengan bentuk atap bangunan arsitektur modern yang bervariatif, kompleks, rumit dan sekaligus sebagai tanda atau "teks" yang dapat dibaca mengenai status sosial dan citra pemilik atau penghuninya
Bentuk suhunan Julang Ngapak memiliki empat bidang, dua diantaranya disusun seperti halnya suhunan Jolopong. Hanya pada suhunan Julang Ngapak terdapat atap tambahan di kedua sisinya - di depan dan di belakang - dengan kemiringan yang lebih landai yang disebut leang-leang. Pada suhunan Julang Ngapak atapnya menggunakan anyaman ijuk. Di kedua ujung atasnya diikat dengan teknik capit hurang (jepitan udang). Menurut arsitek Belanda Maclaine Pont, suhunan Julang Ngapak termasuk gaya arsitektur Sunda Besar yang bercirikan bentuk atap yang mencuat di kedua ujungnya dan adanya tameng-tameng yang menggantung di depannya (Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat,1982)
Sirkulasi udara yang menyehatkan
Seluruh bangunan di Kampung Pulo berdiri di atas batu penyangga atau disebut tatapakan (tempat bertumpu atau penyangga) yang diletakan pada setiap pojok serta bagian konstruksi yang menahan beban cukup besar. Dengan cara demikian posisi lantai tidak langsung bersentuhan dengan permukaan tanah sehingga udara lembab dari tanah maupun debu dapat dihindarkan. Bagian lantaiya dibuat dari palupuh yakni lembaran bambu hasil cercahan atau tumbukan yang menyatu saling mengikat. Hasil cercahan tersebut membentuk celah-celah memanjang tidak beraturan yang berfungsi sebagai ventilasi udara dari bawah serta dapat digunakan untuk membuang debu di atas lantai.
Sedangkan bagian dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang disebut bilik berfungsi sebagai penutup bangunan maupun penyekat ruangan. Bilik tersebut memiliki lubang-lubang kecil seperti "pori-pori" yang juga berfungsi sebagai ventilasi untuk menyalurkan udara maupun cahaya dari luar ruangan atau sebaliknya. Dengan demikian suhu di dalam ruangan selalu terjaga secara alami sesuai dengan kondisi cuaca alam di luar. Disamping itu pun tidak perlu mengandalkan cahaya yang masuk sepenuhnya melalui jendela. Sebenarnya pola bangunan dan penggunaan bahan-bahan alami merupakan hal yang lazim di kalangan masyarakat Sunda atau masyarakat tradisional lainnya. Hanya saja penggunaan pada bangunan-bangunan di Kampung Pulo lebih optimal dan tetap dilestarikan. Pada bangunan prototipe suhunan Julang Ngapak daun pintunya juga menggunakan anyaman bambu yang disebut sarigsig (anyaman) sedangkan bangunan lainnya sudah menggunakan daun pintu dari kayu. Keistimewaan dari teknik sarigsig tersebut bisa melihat dari dalam ke keluar tetapi yang dari luar tidak dapat menembus ke dalam. Udara segar dari luar pun masih bisa mengalir melalui celah-celah sarigsig tersebut.
Fungsi utama bangunan di Kampung Pulo adalah sebagai tempat tinggal dan aktivitas rumahtangga sehari-hari. Aktivitas lainnya seperti bekerja, bertani, memelihara binatang ternak atau berdagang dilakukan di luar pulo. Dengan demikian kapasitas ruang tetap terjaga utuh dan tidak terjadi pengembangan atau penambahan ruang yang dapat mengubah bentuk bangunan utamanya. Kebutuhan ruang ekstra acapkali mengubah struktur bangunan utama, baik dalam tatanan interior maupun eksterior misalnya dengan cara menambah bangunan tambahan lainnya. Penambahan atau perubahan fungsi bangunan tersebut tidak diperkenankan di Kampung Pulo. Kalaupun terjadi sebuah perubahan, terbatas untuk mengganti beberapa material bangunan yang sifatnya tidak dominan dan signifikan misalnya penggunaan cat, kaca atau genting. Tapi untuk prototipe bangunan adat material di atas samasekali tidak diperkenankan. Secara keseluruhan bangunan tempat tinggal di kompleks Kampung Pulo memiliki sirkulasi udara yang memadai baik siang maupun malam hari karena memanfaatkan bahan dan teknik yang berorientasi pada sifat-sifat alami. Sebuah konsep arsitektur bangunan tradisional yang "tertutup" sekaligus "terbuka"
Sejarah kampung pulo
Menurut keyakinan masyarakat setempat bahwa mereka merupakan keturunan dari Embah Dalem Arif Muhammad salah satu pemimpin pasukan Mataram yang diutus oleh Sultan Agung untuk menyerang Batavia pada abad ke-17. Ternyata penyerangannya mengalami kegagalan sehingga Embah Dalem Arif Muhammad tidak berani kembali ke Mataram dan untuk selanjutnya menetap dan menyebarkan agama Islam di daerah yang kini disebut Kampung Pulo. Menurut penuturan kuncen setempat Bapak Iri, Embah Dalem Arif Muhammad memiliki 6 orang anak perempuan dan 1 orang anak lelaki. Posisi tempat tinggal ke enam putrinya dibuat berjejer tiga saling berhadapan menghadap ke arah utara dan selatan. Pada bagian ujungnya, yaitu di bagian barat terletak sebuah musala kecil. Bangunan musala merupakan perlambangan bagi anak lelaki satu-satunya yang meninggal saat masih kecil sewaktu akan dikhitan. Penempatan musala di bagian hulu kompleks juga melambangkan lelaki sebagai kepala keluarga.
Jumlah bangunan tersebut hingga kini terus dipertahankan. Setiap anak yang sudah berkeluarga tidak diperkenankan lagi tinggal bersama orangtuanya dan wajib keluar kampung dengan diberi tenggang waktu selama dua minggu untuk mempersiapkan kepindahan ke luar pulo tersebut. Namun anak yang sudah menikah tersebut dapat tinggal di rumah orangtua mereka jika orangtuanya meninggal dunia. Proses pergantian tersebut disebut ngaplus (menggantikan). Dengan cara ngaplus maka jumlah anggota keluarga dan bangunan tetap tidak berubah.
Salah satu pamali yang lain adalah larangan untuk memelihara binatang besar berkaki empat. Ternyata larangan tersebut berdampak positif bagi kelestarian lingkungan di Kampung Pulo yang luasnya hanya sekira 0,5 ha. Jika diperkenankan memelihara binatang besar dapat mengurangi kapasitas lahan yang tersedia karena binatang tersebut memerlukan lahan atau tempat tersendiri termasuk untuk persediaan pakannya. Bahkan bila populasinya meningkat diperlukan tempat yang lebih luas lagi. Selama ini binatang peliharaannya disimpan di luar pulo.
Sistem waris yang berlaku di Kampung Pulo berbeda dengan masyarakat Sunda atau Islam pada umumnya. Di kalangan masyarakat Kampung Pulo yang mempunyai hak waris rumah adat adalah pihak anak perempuan tertua, sedangkan tanggungjawab keluarga dipegang oleh suaminya. Seperti hal nya Bapak Iri yang diberikan wewenang sebagai kuncen karena merupakan suami dari anak perempuan tertua di Kampung Pulo yang memegang hak waris.
Lokasi Kampung Pulo
Dari arah kota Bandung lokasi Kampung Pulo 1 50 km dan sebelum kota Garut yang ditempuh sekira 1 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Kampung Pulo memiliki luas 1 0,5 ha dan terletak ditengah sebuah situ (danau) yang disebut situ Cangkuang. Sedangkan luas dari situ Cangkuang sendiri adalah 2,5 ha. Namun kini luas situ Cangkuang semakin menyusut akibat pendangkalan dibeberapa bagian.
Untuk mencapai Kampung Pulo dapat dilalui dengan menggunakan rakit bambu sewaan maupun melalui jalan setapak. Jalan yang disebutkan terakhir terjadi karena adanya pendangkalan pada salah satu bagian danau sehingga Kampung Pulo kini tidak sepenuhnya berada di tengah situ Cangkuang. Di Kampung Pulo selain terdapat kompleks hunian terdapat pula makam keramat Embah Dalem Arif Muhammad dan sebuah candi Hindu yang diperkirakan hasil peninggalan abad ke VII Masehi. Candi Cangkuang kini termasuk salah satu objek wisata di daerah Kabupaten Garut.

(Sumber : http://situseni.com/jejak/wikiseni/107-kampung-pulo-wujud-arsitektur-tradisional-sunda)

1 komentar:

  1. Uhooi...

    Artikel yang bagus, informasinya bermanfaat.

    uhooi.blogspot.com

    BalasHapus